Kamis 18 Mar 2021 16:51 WIB

BI: Pelemahan Nilai Tukar Mata Uang Dialami Semua Negara

Nilai tukar mata uang negara emerging market melemah karena perkembangan ekonomi AS.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta (ilustrasi)
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyampaikan pelemahan nilai tukar tidak hanya terjadi pada Indonesia tapi juga negara lain. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan pelemahan nilai tukar mata uang negara emerging market terjadi karena perkembangan terbaru di Amerika Serikat.

"Nilai tukar rupiah memang melemah karena seluruh dunia juga mengalaminya, maka langkah-langkah stabilisasi kita lakukan untuk menjaga stabilitas sesuai fundamentalnya dan mekanisme pasar," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (18/3).

Baca Juga

Perry mengatakan BI terus berkomitmen melakukan langkah stabilisasi sesuai fundamental dan mekanisme pasar. Dalam konteks ini, BI terus berada di pasar dan melakukan langkah kebijakan stabilisasi dengan intervensi di pasar spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder.

Stabilisasi juga dilakukan melalui koordinasi erat dengan Kementerian Keuangan sehingga nilai tukar relatif terjaga dan kenaikan yield SBN dikelola secara baik. Pelemahan rupiah secara year to date (ytd) dari akhir Desember 2020 hingga 17 Maret 2021 tercatat depresiasi 2,62 persen.

"Tingkat depresiasi ini lebih rendah dibanding dengan depresiasi nilai tukar mata uang emerging market seperti Brasil, Meksiko, Korea Selatan, Thailand," katanya.

Saat ini, lanjut Perry, memang ketidakpastian pasar global meningkat terutama dikaitkan reaksi pasar terhadap besarnya stimulus fiskal Amerika Serikat yakni sebesar 1,9 triliun dolar AS untuk pemulihan ekonomi. Meski bank sentral AS, The Fed telah menyatakan belum akan mengubah stance kebijakannya pada tahun ini.

Kenaikan yield obligasi AS dan penguatan dolar AS kemudian memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia. Perry mengatakan langkah stabilisasi telah menjaga nilai tukar dan batas yield SBN dalam batas wajar.

"Maka berkaitan dengan stance kebijakan kami, untuk dukung pemulihan ekonomi nasional lebih lanjut BI lebih mengoptimalkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif," katanya.

Disertai dengan akselerasi pendalaman pasar uang, dukungan kebijakan internasional, serta digitalisasi sistem pembayaran. Selain itu, Perry mengatakan BI memandang pertumbuhan ekonomi kuartal I 2021 akan lebih baik dari kuartal IV 2020 dilihat dari berbagai indikator seperti kenaikan penjualan ritel, dan kinerja ekspor.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement