Kamis 18 Mar 2021 15:02 WIB

Akurasi, Salah Kutip, dan Kredibilitas Media Massa

Seharusnya rutinitas tak membuat para jurnalis lengah dengan akurasi.

Jurnalis (Ilustrasi)
Foto: IST
Jurnalis (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arba’iyah Satriani, Dosen Jurnalistik Fikom Unisba; Penerima Hibah Alumni Global Scheme (AGS) Australia 2020 Round 2

Kita hidup di zaman serba cepat dan serba instan. Tak hanya makanan yang cepat saji, berita pun demikian. Hal ini merupakan tuntutan zaman. Jika kita tak cepat maka kita akan ketinggalan.

Di dunia jurnalistik, kecepatan seringkali disandingkan dengan akurasi. Ya, akurasi informasi yang diberitakan dengan cepat. Apakah berita yang cepat itu akurat? Atau sebaliknya, yang penting cepat sampai dan jika ternyata keliru maka akan direvisi kemudian?

Sebagian pengelola ruang redaksi di media online mengatakan kecepatan adalah panglima. Siapa yang tercepat dialah yang menguasai pasar, begitu yang diyakin banyak pengelola media online.

Namun, seringkali kecepatan ini menjadi bumerang ketika ternyata informasi yang disebarkan keliru. Media massa (cetak, elektronik, online) pun akan kehilangan kredibilitasnya jika terlalu sering menyampaikan informasi yang keliru atau tidak akurat.

Akurasi meliputi banyak hal, di antaranya ketepatan penulisan nama, ketepatan penulisan angka, ketepatan pengungkapan waktu hingga detail tahapan suatu kejadian. Akurasi tak melulu soal fakta tetapi juga data bahkan penempatan tanda baca.

Bayangkan saja, jika seharusnya menulis 12,5 kg dan tertulis 125 kg atau sebaliknya. Jadi ini bukan tentang “hanya” kurang tanda koma. Tanda koma ini bermakna sebagai pembeda yang nyata.

Karena itu, akurasi harus menjadi salah satu poin penting yang selalu dipegang teguh oleh para jurnalis dalam menuliskan berita, tak peduli di masa lalu ataupun masa depan. Akurasi dalam jurnalistik merupakan hal yang harus diperhatikan tanpa mempersoalkan ruang dan waktu. Akurasi adalah bagian dari disiplin verifikasi yang menjadi pembeda antara media massa tepercaya dengan media sosial yang kerap kali tanpa identitas (anonim) sehingga sulit dicek kebenarannya.

Seperti kita ketahui, tantangan jurnalis di era teknologi informasi ini memang berbeda dengan jurnalis di masa lalu. Jika dulu, kemampuan menulis atau bicara di depan layar kaca menjadi hal yang utama bagi jurnalis maka kini syaratnya menjadi lebih banyak.

Kini, jurnalis harus bisa menulis secara cepat dan akurat, harus dapat melakukan wawancara dengan efisien dan efektif. Jurnalis juga harus bisa menembus narasumber sulit dengan segera hingga mempunyai kemampuan mengoperasikan kamera untuk memotret atau merekam dengan kualitas prima. Jurnalis masa kini haruslah multitasking jika ingin tetap eksis.

Di sisi lain, ketika pekerjaan jurnalis dianggap sebagai sebuah rutinitas, maka kesigapan dan berbagai persyaratan yang serba tadi, dianggap kurang relevan. Jika jurnalis menganggap bahwa meliput di lokasi penugasan kantornya, seperti kantor menteri A, kantor gubernur Z atau markas kepolisian adalah rutinitas harian maka urgensi akurasi kadang terabaikan.

Akibatnya, jurnalis menyampaikan data kurang sesuai dengan informasi yang disampaikan narasumber atau bahkan kekeliruan dalam mengutip pernyataan atau data yang diungkap oleh narasumber. Ini yang berbahaya.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement