Kamis 18 Mar 2021 13:11 WIB

Tepatkah Rencana Kenaikan PPnBM Kendaraan Listrik?

Kenaikan PPnBM kendaraan listrik bisa jadi kebijakan yang membingungkan.

Seorang pengemudi mengisi daya mobil listrik dengan memanfaatkan aplikasi PLN Charge.IN di di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) PLN di Kantor PLN Disjaya, Gambir, Jakarta. Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan listrik.
Foto: Prayogi/Republika.
Seorang pengemudi mengisi daya mobil listrik dengan memanfaatkan aplikasi PLN Charge.IN di di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) PLN di Kantor PLN Disjaya, Gambir, Jakarta. Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan listrik.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Novita Intan

Sejumlah pakar menyoroti rencana pemerintah Indonesia yang akan menaikkan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap kendaraan listrik. Rencana itu sebelumnya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73/2019.

Baca Juga

Menurut pakar otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, hal ini nantinya bisa saja mempengaruhi minat masyarakat terhadap mobil listrik. Karena masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli kendaraan energi terbarukan tersebut.

"Ini adalah fenomena yang menarik. Usulan PPnBM kendaraan listrik mau dinaikkan padahal dapat dikatakan EV belum juga mulai memasyarakat. Hal ini bisa mengacaukan program pemasyarakatan kendaraan listrik, tampaknya akan berdampak bukan saja pada mobil tetapi juga sepeda motornya," kata Yannes, Kamis (18/3).

Lebih lanjut, ia berpendapat program memopulerkan kendaraan listrik sangat tergantung dengan kebijakan pemerintah. "Karena, sesungguhnya, program pemasyarakatan kendaraan listrik itu kan adalah program dari pemerintah, bukan purely dorongan dari pasar, atau dorongan dari para pelaku otomotif di Indonesia," ujar Yannes.

Menambahkan, Ekonom sekaligus peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, berpendapat rencana tersebut bisa membuat suatu kebingungan, baik untuk masyarakat maupun pemerintah sendiri. "Rancu, ya. Karena sebelumnya PPnBM berdasarkan gas emisi buang diaturnya, dan untuk EV, (emisi gas buangnya) kecil. Saya rasa kalau pun dinaikkan dan ditetapkan di PPnBM, ini menjadi suatu kebingungan pemerintah," kata Andry.

Sebagai informasi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019, tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM, mengatur bahwa penghitungan PPnBM kendaraan bermotor tidak lagi mengacu pada bentuk kendaraan, melainkan pada besaran emisi atau efisiensi bahan bakar. Lebih lanjut, rencana untuk menaikkan PPnBM untuk kendaraan listrik juga dinilai akan membuat masyarakat berpikir ulang untuk membeli mobil listrik, dan bukan tidak mungkin kalau kendaraan ini malah terasa semakin jauh bagi masyarakat kalangan menengah.

"Sebelumnya insentif-insentif dibuat agar masyarakat mulai beralih ke EV, tapi pertanyaannya, sekarang siapa yang mengonsumsi EV, dan berapa harganya di Indonesia?" kata Andry. "Pasti mempengaruhi minat, karena cost-nya yang diterima lebih besar. Di sisi lain, infrastruktur mobil listrik juga belum masif. Charging station dan aftersales service belum banyak, dan masih belum dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah," ujar peneliti lulusan ITB itu.

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan pengenaan PPnBM tidak hanya untuk mendorong penerimaan negara, namun juga menjaga keseimbangan pembebanan pajak antara masyarakat berpenghasilan rendah dan tinggi. Menkeu menuturkan dasar hukum pengenaan PPnBM kendaraan bermotor yang berlaku saat ini ada tiga yaitu Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, PP Nomor 41 Tahun 2013 sttd PP 22 Tahun 2024, serta PMK 33/PMK.010/2017.

Sri Mulyani mengatakan pihaknya mengingatkan hal ini karena pemerintah sedang berencana menaikkan tarif PPnBM terhadap kendaraan listrik yang aturan sebelumnya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73/2019. Usulan tarif PPnBM terbaru didasarkan pada skema I dan skema II dengan skema II akan diberlakukan dua tahun setelah ada realisasi investasi Rp 5 triliun di industri mobil BEV atau saat BEV mulai berproduksi komersial dengan realisasi investasi Rp 5 triliun.

Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan PPnBM kendaraan mengalami penurunan sebesar Rp 5 triliun sepanjang 2020. Tercatat penerimaan PPnBM dari industri otomotif sebesar Rp 10 triliun pada 2019.

Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengatakan masa  pandemi Covid-19 memicu penerimaan PPnBM industri otomotif sangat rendah, sehingga mengakibatkan penjualan yang menurun drastis. "Gambaran penerimaan sektor industri otomotif paling tidak dua tahun terakhir, pada 2020 lebih kecil dari 2019. Industri kendaraan bermotor betul-betul luar biasa alami pengecilan dan kalau tidak dibantu akan memiliki mengalami kondisi hampir sama dengan 2020 demikian juga PPnBM. Kelesuan 2020 akibatnya penerimaan PPnBM menurun luar biasa," ujarnya kepada wartawan, Rabu (17/3).

Pemerintah menerapkan diskon PPnBM mulai 1 Maret 2021 untuk mendorong penjualan kendaraan, kategori mobil berkapasitas silinder 1.500 cc dengan penggunaan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) mencapai 70 persen. Sedangkan kajian perubahan PPnBM yang tengah dibahas untuk mengakomodir masuknya investor yang ingin membangun pabrik mobil listrik di Indonesia yang masuk dalam kategori Battery Electric Vehicle (BEV).

BEV merupakan kategori kendaraan listrik murni. Selain itu ada kategori Hybrid Electric Vehicle (HEV) dan Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV). Dalam PP 73 Tahun 2019 tarif PPnBM BEV nol persen, lalu PHEV juga nol persen.

“Nah para pengusaha produsen BEV ingin pengenaan PPnBM dibedakan dengan PHEV. Alasannya karena kendaraan PHEV tidak murni menggunakan tenaga listrik,” ucapnya.

Ada dua skema perubahan yang diusulkan Sri Mulyani. Skema pertama tarif PPnBM BEV tetap nol persen, sedangkan PHEV naik jadi lima persen dan Full-Hybrid dari dua persen, lima persen dan delapan persen menjadi enam persen, tujuh persen, dan delapan persen.

“Namun skema 1 itu tidak gratis. Ada syarat yang ditetapkan bagi para produsen mobil listrik BEV yang ingin berinvestasi di Indonesia,” ucapnya.

Skema dua merupakan progresif dari skema pertama. Tarif PPnBM BEV tetap nol persen, lalu PHEV menjadi delapan persen. Sedangkan Full-Hybrid dari enam persen, tujuh persen, dan delapan persen menjadi 10 persen, 11 persen, dan 12 persen.

“Pemerintah juga menyiapkan insentif dalam bentuk tax holiday hingga 10 tahun jika investor kendaraan listrik berinvestasi sebesar Rp 5 triliun,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement