Selasa 16 Mar 2021 02:22 WIB

Kasus Janjian Tawuran Via Medsos, Ini Tanggapan Psikiater

Insiden tersebut merupakan salah satu bentuk agresivitas remaja.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Andi Nur Aminah
Tawuran remaja (ilustrasi).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Tawuran remaja (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tawuran remaja di Kebon Jeruk, Jakarta, beberapa waktu silam, cukup menjadi sorotan. Pasalnya, dua kelompok remaja yang terlibat semula membuat janji di media sosial untuk berjumpa di suatu tempat dan berkelahi.

Menanggapi itu, psikiater Lahargo Kembaren mengatakan bahwa insiden demikian merupakan salah satu bentuk agresivitas remaja. Perilaku itu sesungguhnya hadir lewat suatu proses kompleks yang terjadi di otak manusia.

Baca Juga

Terdapat bagian otak yang berfungsi membuat keputusan (prefrontal cortex) serta berfungsi sebagai pusat emosi (amigdala). Pada remaja, fungsi dua organ otak tersebut belum terlalu matang sehingga mereka sukar menyeimbangkannya.

"Gampang sekali terpicu emosi. Bisa karena rasa setia kawan, peer group, sehingga keadaan emosional muncul dan terjadi perilaku kekerasan agresivitas," kata Lahargo pada Republika.co.id, Senin (15/3).

Ditinjau dari situasi pandemi, bisa jadi remaja menganggap ajakan tawuran via media sosial itu sebagai sebuah pelarian dari kondisi menjenuhkan. Sejak merebaknya pandemi, banyak orang termasuk remaja yang mengalami ketidaknyamanan psikis.

Lahargo mengatakan, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa mendapati bahwa 64,8 persen masyarakat mengalami masalah psikologis selama pandemi. Beberapa di antaranya termasuk depresi, kecemasan, dan trauma psikologis.

Kelompok umur yang paling banyak terdampak adalah usia remaja dan dewasa muda. Mereka tidak bisa berjumpa orang lain, berkumpul dengan teman, sehingga akhirnya agresivitas itu tersalurkan lewat tawuran.

Tentunya, penggunaan media sosial perlu jadi sorotan tersendiri. Menurut Lahargo, regulasi media sosial perlu lebih diperketat, juga bagaimana pengawasan orang tua terhadap anak dan remaja yang sudah memiliki akun media sosial.

Tidak sedikit interaksi media sosial yang berujung pada kejahatan dan perilaku berbahaya. Salah satunya, Lahargo menyontohkan, adalah kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Kota dan Kabupaten Bogor.

"Penggunaan media sosial secara bijak perlu terus-menerus diberitahukan kepada anak dan remaja. Informasi digital dan online kalau tidak disaring bisa memberikan dampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan emosional anak," tuturnya.

Tontonan kekerasan, gim dengan konten kekerasan, serta role model dari tokoh tertentu yang diidolakan, bisa memengaruhi remaja. Pasalnya, usia remaja adalah peniru ulung yang sangat mudah mengikuti tren.

Terkait berbagai insiden tawuran yang hingga kini masih sukar diredakan di banyak daerah, Lahargo mengatakan butuh upaya semua pihak. Upaya pencegahan adalah bagian penting yang bisa dilakukan oleh orang tua dan sekolah.

Terutama di masa pandemi, orang tua perlu melakukan pengawasan dan pemantauan ekstra. Selama krisis kesehatan belum usai, risiko penularan virus pada anak dan remaja masih cukup besar. Masyarakat dan penegak hukum juga perlu ikut turun tangan.

Dalam pandangan Lahargo, bisa jadi anak dan remaja mengalami berbagai tahapan trauma psikologis selama di rumah. Mereka bosan dengan kegiatan di rumah yang itu-itu saja dan butuh penyaluran energi.

"Mengemas dan merancang kegiatan positif dan kreatif bagi remaja menjadi pe-er kita semua. Kalau anak yang masih kecil mungkin mudah diarahkan, tetapi remaja sudah punya otonomi dan kebebasan sendiri," ungkap Lahargo.

Lingkungan serta orang tua patut mewaspadai berbagai gejala agresivitas. Salah satunya adalah temper tantrum, ledakan emosi berupa marah atau ngambek berlebihan. Gejala lain, jika remaja mengeluarkan ancaman verbal kepada orang lain.

Agresi fisik terhadap orang lain, merusak benda, maupun perilaku menyiksa satwa juga harus diwaspadai. Begitu pula jika remaja melakukan berbagai aksi vandalisme. Jika dibiarkan, bisa timbul hal-hal membahayakan terhadap diri dan sekitarnya.

Berbagai gejala itu merupakan alarm agar orang tua dan lingkungan segera melakukan intervensi. Penanganan terpenting adalah menghindarkan anak dari segala jenis perlakuan kekerasan. Pasalnya, korban kekerasan lebih berisiko menjadi pelaku.

Identifikasi dan edukasi yang baik sangat penting, termasuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan jiwa. Lahargo menyarankan pula pengawasan terhadap paparan media yang berbau kekerasan. Selain itu, usahakan anak banyak terlibat aktivitas fisik seperti berolahraga, bermain musik, mengikuti organisasi, atau kegiatan kerohanian. 

"Terpenting adalah komunikasi, bangun kedekatan orang tua dengan anak sehingga dia bisa curhat tentang segala hal. Wujudkan pola parenting yang sehat, baik, dan positif," ujar Lahargo yang praktik di RS Jiwa Marzoeki Mahdi dan RS Siloam Bogor.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement