Bukan perjalanan biasa, jalan-jalannya Rasulullah ini sarat hikmah dan pesan moral di dalamnya, mengingat momentum sakral ini juga sebagai hiburan atas kesedihan Rasulullah di tahun itu, hingga tahun kesedihan (karena kehilangan/ wafatnya paman beliau dan Sayyidah Khadijah ra) dikenal dengan ‘aam huzni. Betapa sedih dan terpukulnya Rasulullah karena dua orang tercintanya kembali kehadirat-Nya, hingga Allah memberikan hadiah yang sarat hikmah.
Peristiwa ini disepakati para ulama terjadi sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Isra dan Mi’raj pun kejadian Maha Luar Biasa yang logika manusia tak sanggup mencernanya. Butuh keimanan yang kuat untuk bisa meyakininya hingga Allah abadikan peristiwa ini dalam surah al-Isra/17: 1, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Betapa sakralnya peristiwa Isra dan Mi’raj hingga Allah membuka ayat di atas dengan lafadz penyucian. Subhaana yang berasal dari kata sabaha yang artinya menjauh.
Menjauh dari apa? Imam al-Ghazali menguraikan, tasbih artinya menyucikan Allah dan menjauhkan zat-Nya dari sifat-sifat mustahil yang melekat pada-Nya. Ketika kita menyebut subhaanallah, disadari maupun tidak, kita bukan hanya sedang mengagungkan-Nya namun juga menjauhkan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak ada pada keluhuran zat-Nya.