Ahad 14 Mar 2021 01:06 WIB

Teknologi Kultur Jaringan Atasi Kelangkaan Benih Porang

Selama ini, petani mendapatkan benih porang dari umbi dan biji pada bunga porang.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Budidaya tanaman porang belakangan ini semakin diminati para petani. Harga porang iris kering yang terus melonjak dari tahun ke tahun membuat banyak petani banting setir menanam porang. Namun, budidaya tanaman porang terhambat kelangkaan dan mahalnya harga bibit porang.
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Budidaya tanaman porang belakangan ini semakin diminati para petani. Harga porang iris kering yang terus melonjak dari tahun ke tahun membuat banyak petani banting setir menanam porang. Namun, budidaya tanaman porang terhambat kelangkaan dan mahalnya harga bibit porang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budidaya tanaman porang belakangan ini semakin diminati para petani. Harga porang iris kering yang terus melonjak dari tahun ke tahun membuat banyak petani banting setir menanam porang. Namun, budidaya tanaman porang terhambat kelangkaan dan mahalnya harga bibit porang.

Selama ini, petani mendapatkan benih porang dari umbi, bulbil atau biji pada bunga porang. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan menjamin ketersediaan bibit porang adalah dengan menerapkan teknik kultur jaringan.

Baca Juga

Peneliti Ahli Utama BB Biogen, Badan Litbang Pertanian, Ika Roostika Tambunan mengatakan bahwa tanaman porang (Amorphophallus muelleri) merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang bernilai ekonomi tinggi. Biasanya, porang diekspor dalam bentuk chips atau tepung.

Dalam industri pangan, porang bisa diolah menjadi tepung, shirataki, konyaku, dan gelling agent. Dalam industri industri obat-obatan, porang berkhasiat untuk menurunkan kolesterol dan gula darah, mencegah kanker, serta menurunkan obesitas dan mengatasi sembelit. Sementara, dalam industri lainnya, porang menjadi bahan baku lem, pelapis anti air, cat, negative film, pita seluloid, dan kosmetika mewah.

Ika mengatakan, saat ini tanaman porang menjadi booming karena kebutuhannya sangat tinggi hingga menimbulkan kelangkaan benih. Biasanya petani menggunakan benih alami dari umbi dan bulbil yang harganya mencapai Rp 150-400 ribu per kiloram (kg). Sementara kebutuhan benih porang untuk satu hektare lahan sekitar 200 kg sehingga petani harus mengeluarkan biaya antara Rp 30 juta–Rp 80 juta.

“Perbanyakan benih porang biasanya menggunakan katak/bulbil. Ketika kebutuhan benih tidak dapat terpenuhi secara konvensional, harus ada sentuhan teknologi dalam hal ini adalah teknik kultur jaringan,” kata Ika dalam Siaran Pers Kementan, akhir pekan kemarin.

Kultur jaringan, terangnya, merupakan teknik mengisolasi bagian tanaman berupa protoplas/sel telanjang, sel, jaringan, atau organ, secara aseptis dan ditumbuhkan secara in vitro (dalam botol) hingga membentuk planlet (tanaman utuh). Sejak November 2019-Desember 2020, BB Biogen berkolaborasi dengan Direktorat Perbenihan untuk melakukan Uji Produksi Benih Porang melalui Kultur Jaringan.

“Perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki keunggulan karena bisa dilakukan secara masal dalam waktu cepat, tidak tergantung pada musim, menghasilkan bibit sesuai dengan induknya, seragam, bebas hama dan penyakit, serta mudah untuk didistribusikan (khususnya dalam bentuk planlet). Di samping itu karena adanya  zat pengatur tumbuh pada saat ditumbuhkan secara in vitro maka pertumbuhan juga menjadi lebih cepat,” terangnya.

Tahapan kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman meliputi pemilihan tanaman induk, sterilisasi eksplan/bahan tanaman, penanaman in vitro/di laboratorium, subkultur (multiplikasi tunas), induksi perakaran hingga menjadi planlet, aklimatisasi di rumah kasa/kaca, dan transplanting/pemindahan ke lapang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement