Anggota DPR Bela Vaksin Nusantara yang Dipertanyakan BPOM

Menurut Rahmad, yang dipersoalkan BPOM hanya bersifat administratif.

Jumat , 12 Mar 2021, 00:02 WIB
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Rapat tersebut membahas tentang dukungan pemerintah terhadap pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Rapat tersebut membahas tentang dukungan pemerintah terhadap pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAkARTA -- Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, mengomentari kritik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang mempertanyakan kaidah klinis Vaksin Nusantara. Menurutnya, apa yang dipersoalkan oleh BPOM tersebut hanya bersifat administratif.

"Kalau sebatas administrasi dipersoalkan jadi lucu, soal etik dipersoalkan jadi lucu, kemudian soal laboratorium dipersoalkan jadi lucu, justru yang kita dorong itu adalah dari sisi keamanan," kata Rahmad kepada Republika, Kamis (11/3).

Baca Juga

Secara substansi, Rahmad menilai uji klinis Vaksin Nusantara tahap pertama tidak ada masalah. Tidak ada dampak serius yang ditimbulkan dalam uji klinis tahap pertama.

"Artinya kalau dari sisi aman sih aman, nggak ada masalah gitu loh, itu juga diakui oleh Lembaga Eijkman. Ini kan sudah uji klinis tahap pertama yang sudah sangat maju ya, sehingga saya juga tidak tahu alasannya administrasi ini yang sehingga mengganggu," ucap politikus PDI Perjuangan itu.

Ia meyakini ada titik temu terkait persoalan administrasi tersebut. Lain halnya jika yang dipersoalkan adalah keamanan dari Vaksin Nusantara.

Baca juga : Komisi Fatwa MUI akan Kaji Kehalalan Beberapa Jenis Vaksin

"Kalau BPOM masih mempersoalkan etik segala, nah ini kan perlu kita bicarakan, kita duduk bersama antara lembaga penelitian dengan BPOM. Kecuali dari kaidah-kaidah saintifik itu tidak memungkinkan, tidak aman, baru itu pantas kita tidak paksakan," terangnya.

Selain itu ia juga mendorong agar BPOM memperlakukan Vaksin Nusantara sama dengan Sinovac dan AstraZeneca. Jika BPOM dalam proses pengambilan keputusannya mengeluarkan izin penggunaan vaksin untuk Sinovac dan AstraZeneca mendatangkan ahli untuk menilai, maka hal serupa juga perlu dilakukan untuk Vaksin Nusantara.

"Kemarin kita minta informasi kalau ternyata ada hearing, ya enggak apa-apa bagi (vaksin) Nusantara kalau harus ada hearing hasil penelitiannya dalam rangka BPOM untuk memutuskan," tuturnya.

"Kalau ternyata nih lembaga atau vaksin luar negeri itu tidak pakai hearing mengundang ahli-ahli untuk menilai kemudian untuk presentasi dari vaksin Sinovac mempresentasikan hasilnya, ya tentu juga intinya anak bangsa harus equal ya mau dari manapun, dari asing maupun dari Indonesia kita harus samakan, karena ini menyangkut masalah manusia harus disuntikkan sehingga harus betul-betul aman," jelas Rahmad.

Sebelumnya Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito, mempertanyakan vaksin berbasis sel dendritik atau vaksin Nusantara yang diinisiasi oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Menurutnya, ada aspek keamanan dan standar yang tidak dijalankan selama penelitiannya.

Dia menjelaskan, dalam penelitian harus dapat menjawab profil khasiat vaksin yang jadi tujuan sekunder. Namun, penelitian tetap perlu memperhatikan aspek keamanan, agar vaksin nantinya dapat dipertanggungjawabkan keamanannya.

"Dalam penelitian ini juga ada profil khasiat vaksin yang jadi tujuan sekunder yang harus dijawab, karena bukan hanya aspek keamanan saja ya," ujar Penny dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Rabu (10/3).

Jika vaksin Nusantara tak dapat menjawab profil khasiatnya, uji klinis tahap kedua tidak dapat dilanjutkan. Sebab, hal tersebut dapat merugikan subjek penelitian.

"Kalau tidak menunjukkan khasiat vaksin, penelitian ke fase berikutnya menjadi tidak ethical karena akan merugikan subjek penelitian untuk mendapatkan perlakuan yang tidak memberikan manfaat," ucap Penny.