Kamis 11 Mar 2021 18:20 WIB

Pemerhati Pendidikan Curiga PJP tak Dibuat Orang Indonesia

Pra konsep PJP dinilai tidak berbasis pada filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ilham Tirta
Peta Jalan Pendidikan 2020-2035
Foto: tangkapan layar
Peta Jalan Pendidikan 2020-2035

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati Pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji mengaku tidak merasakan cita rasa Indonesia pada peta jalan pendidikan (PJP) yang disusun Kemendikbud. Bahkan, ketika PJP itu mengusung sebutan Pelajar Pancasila.

"Kayaknya yang menyusun ini bukan orang Indonesia karena tidak ada cita rasa Indonesianya. Tidak hanya tidak sesuai dengan konstitusi," kata Indra, Kamis (11/3).

Ia menilai, beberapa hal belum disentuh dalam pra konsep peta jalan rancangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut. Antara lain budaya asli Indonesia tidak disentuh dan tidak membicarakan tentang pendidikan nonformal.

"Jadi secara singkat ini peta jalan sekolahan. Karena semuanya diarahkan ke pendidikan formal," ujar dia.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), Manhan Marbawi. Ia menilai pra konsep PJP itu tidak berbasis pada filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara. Peta jalan itu cenderung mengarahkan siswa menjadi manusia yang sekadar bekerja di industri kapitalis.

Padahal, menurutnya yang penting dalam pendidikan bukan hanya menyiapkan lulusan yang siap bekerja di industri. Namun, pendidikan harus bisa menguatkan identitas dan jati diri bangsa sebagai rekayasa sosial untuk menguatkan ideologi Pancasila. Pendidikan mestinya mampu membangun generasi yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.

"Tujuannya memang baik, menyiapkan generasi yang siap bersaing, siap menghadapi dunia yang destruktif. Tapi lupa bahwa kesiapan generasi ke depan itu tetap harus memiliki landasan atau pondasi keagamaan, lupa menyiapkan generasi yang memiliki pondasi nilai-nilai kearifan lokal," kata Manhan dihubungi Republika.co.id, Kamis (11/3).

Ia menyebutkan, hal yang perlu ditekankan adalah filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu kontinuitas, konvergensi, dan konsentris. Kontinuitas, artinya pendidikan harus melanjutkan dan merawat budaya-budaya daerah atau asing.

Konvergensi adalah pendidikan yang harus menyiapkan generasi atau siswa yang mampu berdialog dengan budaya bangsa lain. "Artinya, punya kemampuan untuk menyerap berbagai macam informasi teknologi keilmuan, tapi tidak kehilangan akar budayanya," kata dia lagi.

Selain itu, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan juga harus bersifat konsentris. Artinya, pendidikan harus mampu melahirkan generasi yang inovatif dan kreatif. Manhan menjelaskan, jika ketiga filosofi ini diterapkan dalam peta jalan maka pendidikan tidak akan menjadi sekuler.

"Juga harus berbasis pada pancadarma Ki Hajar Dewantara yaitu kebudayaan, kemanusiaan, kearifan lokal, dan juga nilai-nilai kebangsaan," kata Manhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement