Kamis 11 Mar 2021 15:27 WIB

Pemprov Bengkulu Minta KPK Awasi Tiga Perusahaan BUMD

Sebanyak 70 persen korupsi melibatkan swasta, BUMD, pejabat publik, dan legislator.

Ilustrasi Korupsi
Foto: MGIT4
Ilustrasi Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU--Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi dan memberikan pembinaan kepada tiga perusahaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bengkulu Hamka Sabri mengaku, pengawasan dilakukan agar tiga BUMD tidak tersandung persoalan hukum.

Hamka Sabri menyebut tiga perusahaan BUMD Provinsi Bengkulu tersebut yakni Bank Bengkulu, Bengkulu Mandiri, dan Bengkulu Ekspor Impor (Bimex). Permintaan pengawasan itu disampaikan ke Direktorat Anti Korupsi Badan Usaha (AKBU) KPK dalam rapat koordinasi (rakor) antara Pemprov Bengkulu bersama KPK membahas upaya pencegahan korupsi di badan usaha.

"Diharapkan KPK dapat memberikan pengawasan dan pembinaan agar badan usaha milik daerah kita tidak sampai tersandung masalah hukum," kata Hamka di Bengkulu, Kamis (11/3).

Menurut Hamka, perusahaan BUMD merupakan salah satu roda penggerak ekonomi di daerah. Sehingga, peran tersebut mengharuskan manajemen perusahaan dikelola secara profesional. Terutama, kata dia, penguatan dalam sistem pencegahan korupsi harus dirancang sedemikian ketat agar perusahaan BUMD benar-benar dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah.

"Badan usaha merupakan garda terdepan yang dapat memanfaatkan seluruh potensi yang ada, sehingga kita berharap dapat berjalan baik dan berkontribusi bagi pembangunan daerah," ucapnya.

Sementara itu, Kasatgas Anti Korupsi KPK Maruli Tua menyebut pihaknya telah menetapkan empat target pencegahan korupsi di badan usaha untuk tahun 2021. Diantaranya pengawasan regulasi dan mekanisme pengisian jabatan di perusahaan BUMD, penguatan sistem manajemen antisuap, pembentukan agen pembangunan integritas serta LHKPN dan penguatan SPI dan pembangunan WBS.

Direktur AKBU KPK Aminudin menjelaskan, badan usaha atau koorporasi dapat dipidana bila memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana yang dilakukan untuk kepentingan perusahaan. Kemudian, melakukan pembiaran terjadinya tindak pidana dan tidak melakukan upaya pencegahan.

Ketentuan itu diatur dalam pasal 4 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung (Pea) Nomor 13 Tahun 2016 tentang tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi. "KPK selalu mengedepankan pencegahan dari pada penindakan. Data KPK per Desember 2020 hampir 70 persen kasus korupsi melibatkan pelaku usaha baik swasta, BUMN dan BUMD, pejabat publik maupun legislatif," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement