Kamis 11 Mar 2021 05:42 WIB

Perubahan Sistem Elektoral Hong Kong Ancam Kebebasan

Inggris menyampaikan kekhawatiran mengenai perubahan sistem elektoral Hong Kong.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
 Petugas polisi mengibarkan bendera peringatan untuk membubarkan pengunjuk rasa di sepanjang jalan di Causeway Bay selama unjuk rasa terlarang pada Hari Nasional China, di Hong Kong, China, 01 Oktober 2020. Rencana perubahan sistem elektoral Hong Kong dinilai akan menjadi ancaman bagi kebebasan dan hak sipil di Hong Kong.
Foto: EPA-EFE/JEROME FAVRE
Petugas polisi mengibarkan bendera peringatan untuk membubarkan pengunjuk rasa di sepanjang jalan di Causeway Bay selama unjuk rasa terlarang pada Hari Nasional China, di Hong Kong, China, 01 Oktober 2020. Rencana perubahan sistem elektoral Hong Kong dinilai akan menjadi ancaman bagi kebebasan dan hak sipil di Hong Kong.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris mengatakan rencana perubahan sistem elektoral Hong Kong akan menjadi ancaman bagi kebebasan dan hak sipil kota itu. London menyampaikan kekhawatiran ini langsung ke Beijing.

"Langkah-langkah semacam itu, seperti yang telah disampaikan, akan menjadi serangan lebih lanjut bagi kebebasan dan hak Hong Kong, pemerintah China dan Hong Kong tidak perlu meragukan betapa seriusnya keprihatinan kami," kata Menteri Luar Negeri Inggris Nigel Adams, Rabu (10/3).

Baca Juga

Parlemen China yakni National People’s Congress (NPC) diperkirakan akan menyetujui resolusi perubahan sistem elektoral Hong Kong pada Kamis (11/3) ini. Perubahan tersebut dianggap akan mengurangi jumlah perwakilan dari sayap pro-demokrasi di institusi-institusi Hong Kong.

China ingin pemerintahan Hong Kong hanya akan diisi oleh kandidat-kandidat 'patriotik'.  Adams mengatakan Inggris ingin melihat perubahannya terlebih dahulu sebelum melakukan penilaian terakhir.

Ia mengatakan tidak bisa berspekulasi Inggris akan memberikan sanksi pada seseorang atas tindakan China terhadap Hong Kong. Tapi ia menegaskan langkah tersebut masih akan dipertimbangkan.

Sebelumnya Inggris mempertimbangkan sanksi atas pelanggaran hak asasi manusia ke China. Sebab menilai Beijing telah melanggar kesepakatan tahun 1997 ketika Inggris mengembalikan Hongkong ke China.

Hong Kong dikembalikan ke China dengan syarat kota tersebut dapat memiliki otonomi dan kebebasan. Para aktivis pro-demokrasi yang menggelar gelombang unjuk rasa sejak tahun 2019 menyatakan Beijing melanggar syarat tersebut. China membantah tuduhan itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement