Kamis 11 Mar 2021 00:31 WIB

Mahalnya Jet Tempur Penjaga Marwah NKRI

Tak mudah untuk bisa memproduksi pesawat tempur sendiri.

Sebuah jet tempur Rafale mendarat di kapal induk Prancis Charles de Gaulle di laut, di lepas pantai kota Hyeres, Prancis, 23 Januari 2020.
Foto: EPA-EFE / PHILIPPE LOPEZ
Sebuah jet tempur Rafale mendarat di kapal induk Prancis Charles de Gaulle di laut, di lepas pantai kota Hyeres, Prancis, 23 Januari 2020.

Oleh : Hiru Muhammad*

REPUBLIKA.CO.ID, Pertengahan Februari lalu, Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan (Ditjen Pothan) Kementerian Pertahanan Indonesia mendapat kunjungan petinggi dari produsen pesawat Rafale, Dassault Rafale. Kedatangan kedua pejabat industri pesawat terbang Prancis tersebut setidaknya mulai membuka tabir teka teki rencana pembelian pesawat tempur multi peran (multi role) pemerintah Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah khususnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) disibukkan dengan rencana pembelian alutsista modern bagi matra laut, darat dan udara. Khususnya matra laut dan udara membutuhkan perhatian eksta lebih. Selain harga alutsista yang lebih mahal, juga pengadaannya memakan waktu beberapa tahun. Padahal Indonesia saat ini sedang menghadapi kondisi keamanan yang tidak menentu di kawasan laut Natuna Utara atau laut Cina Selatan.  Kondisi yang tidak stabil ini menuntut perhatian ekstra dari para petinggi khususnya kalangan militer untuk segera menyiapkan persenjataan canggih guna mengantisipasi kondisi yang tidak diinginkan.

Beberapa waktu lalu tersiar kabar pemerintah Indonesia yang berkeinginan membeli jet tempur bekas jarang pakai Euro Fighter milik Austria. Namun, kini rencana tersebut tak terdengar lagi setelah tersiar kabar pro dan kontra di parlemen Austria terkait rencana tersebut. Selain itu  juga peremajaan  dan proses penjualan yang harus melalui persetujuan banyak negara produsen Euro Fighter, termasuk AS yang memasok sejumlah perlengkapan canggih di jet tempur multi peran tersebut.

Belakangan pihak TNI telah mengumumkan rencana pembelian 38 unit Rafale dan 8 unit F15EX. Selain pesawat angkut C130J Hercules, tangker terbang juga drone, radar dan perlengkapan canggih lainnya. Terkait pengadaan pesawat tempur canggih memang menjadi PR yang sudah lama tidak pernah menemui titik terang.  Memproduksi pesawat tempur canggih bukan sebatas penguasaan teknologi dirgantara semata, melainkan sarat dengan aspek politik dan strategis. 

Dua aspek terakhir ini yang kerap merubah nasib jet tempur yang dibuat. Beberapa negara seperti India, Pakistan, Jepang telah berupaya dengan segala cara membangun jet tempur buatan dalam negeri. Namun, hasil yang diperoleh masih jauh dari harapan. Padahal proses pengembangannya memakan waktu lama, anggaran yang telah dikeluarkan untuk riset, membuat prototipe dan sebagainya tidaklah kecil. Barangkali hanya Rusia, AS, Prancis dan Cina saja yang sukses membangun jet tempur canggih yang 100 persen buatan dalam negeri.

Salah satu penyebab sulitnya membangun jet tempur mandiri adalah fasilitas elektronik modern yang belum sepenuhnya buatan dalam negeri. Seperti radar, kendali senjata, sistem peperangan, persenjataan, sensor dan lainnya yang akan dipasang di pesawat tersebut. Apabila fasilitas canggih tersebut masih ada yang didatangkan dari negara lain, tentunya dapat mengganggu kemandirian pembuatan  pesawat tempur tersebut. Pasalnya tingkat kerahasiaan atau kecanggihan peralatan tersebut akan lebih mudah diketahui lawan dan apabila ini terjadi dalam peperangan modern tentunya sangat merugikan.

Hal ini dialami Turki ketika membangun drone tempur Bayraktar 2 yang sukses beroperasi di konflik Azerbaijan dan Armenia tahun lalu. Belakangan Canada dan Inggris yang memasok perlengkapan mesin dan elektronik drone tersebut menerapkan embargo. Kondisi lebih sulit akan dialami proses produksi jet tempur. Pembuatan Euro Fighter sendiri melalui proses panjang dan berbelit karena melibatkan Jerman, Prancis, Spanyol, Italia dan Inggris. Namun, dalam perjalanannya terjadi pecah kongsi akhirnya Prancis memilih keluar dari kesepakatan itu dan membangun Rafale.

Rencana produksi KFX/IFX bersama Korea Selatan juga menjadi contoh seretnya kesepakatan bisnis dalam memproduksi jet tempur generasi 4,5 itu. Selain biaya produksi yang mencapai miliaran dolar AS, aspek penguasaan teknologi yang kelak dikuasai Indonesia atau transfer of technology tidak sesuai harapan. Barangkali masih lamanya proses pembuatan KFX/IFX hingga siap operasional dan kian menghangatnya konflik Natuna membuat Indonesia lebih bersemangat memilih Rafale yang siap pakai dan sudah terbukti alias battle proven. Prototipe KFX/IFX sendiri baru akan diluncurkan April mendatang.

Indonesia saat ini memang membutuhkan jet tempur kelas berat yang mampu menjalankan berbagai misi pertempuran modern, mampu menggotong berbagai jenis senjata dalam jumlah banyak dan terbang jarak jauh. Peran itu hanya bisa dijalankan jet tempur bermesin ganda multi peran seperti Rafale, SU 35, F15EX dan F18 Super Hornet. Barangkali salah satu pilihan jatuh ke Rafale yang berpeluang dimiliki dalam jumlah banyak, karena seluruh perlengkapan elektronik yang ada di Rafale buatan Prancis. Sehingga terhindar dari ancaman embargo. Negara tersebut juga tidak  banyak mengkaitkan aspek politik dalam penjualan persenjataannya ke negara lain, meski harga persenjataan buatan Prancis sudah dikenal cukup mahal.  Namun, apapun alasannya memiliki salah satu dari keempat penempur kelas berat tersebut, apalagi dalam jumlah besar, tentunya akan mendongkrak marwah negara pemiliknya di sebuah kawasan. Dan Langkah itu kini sedang dilakukan Indonesia.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement