Rabu 10 Mar 2021 10:28 WIB

Mengkaji Modernisasi Teologi Islam SherAli Tareen (2-Habis)

SherAli Tareen memberi kesempatan memikirkan banyak pertanyaan.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Mengkaji Modernisasi Teologi Islam SherAli Tareen
Foto: contendingmodernities.nd.edu
Mengkaji Modernisasi Teologi Islam SherAli Tareen

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perselisihan antara Fazl-ī Ḥaqq Khayrābādī (w. 1861) dan Shāh Ismāʿīl di abad kesembilan belas, dan Aḥmad Razā Khān (w. 1921) dan Deobandīs di abad ke-20, keduanya adalah contoh bentrokan internal dalam Muslim Sunni. Sayangnya, karena panasnya polemik, tidak ada mekanisme rekonsiliasi diskursif atau perantara yang memungkinkan.

Perdebatan sengit ini terjadi pada periode pasca-kolonial, seperti yang ditunjukkan Sohaira Siddiqui dalam tanggapannya.

Baca Juga

“Masalah yang terselip dalam polemik Barelvī-Deobandī yang berimbas dari manifestasi kontemporer, hanya satu diantara sekian banyak polemik antar kelompok Muslim, tidak hanya di Asia Selatan,” kata dia yang dikutip Republika.

Faisal Devji juga merefleksikan bagaimana argumen Tareen membantu kita dalam menyikapi isu dalam konteks yang berbeda. Dia mencatat bahwa pada abad ke-20, konsep kedaulatan ilahi yang diperbarui menjadi instrumen pembentukan negara ideologis.

 

Gagasan seperti itu, menurutnya, telah dilembagakan melalui konstitusi dan proses legislatif. Pakistan dan Mesir adalah dua contoh bagaimana konsep kedaulatan ilahi ditanamkan ke dalam tatanan politik negara-bangsa.

Konsep politik-teologis yang direformasikan membuat agama dikambinghitamkan dan dianggap sebagai senjata untuk melawan, bahkan menggulingkan pemerintah. Berujung pada bermunculannya kebijakan pelarangan pidato tentang agama dan meningkatkan pelabelan berbagai bentuk aspirasi sebagai bentuk penistaan agama.

Jonathan Brown dalam pernyataannya mengungkapkan rasa penasaran mengapa kontestasi teologi intra-Muslim ini mencapai kemarahan seperti itu di Asia Selatan. Mungkin studi komparatif yang melihat ke periode yang sedikit lebih awal di Afrika Barat dapat membantu menjelaskan perkembangan di Asia Selatan.

Dalam esainya, Brown mencatat beberapa kemiripan yang luar biasa dalam perkembangan teologis di Asia Selatan pada abad kesembilan belas dan Arab pada abad kedelapan belas, tetapi kemudian dirinya sendiri dengan tepat mengabaikan perbandingan tersebut karena ia menyatakan bahwa terdapat perbedaan penting antara kedua konteks tersebut.

“Sekalipun berbahaya untuk berspekulasi, saya akan menyatakan bahwa Shāh Ismāʿīl dan rekan-rekannya adalah minoritas di kerajaan Mughal yang semakin berkurang, di mana kecemasan akan kehilangan dan kehancuran kekayaan Muslim sangat membebani hati nurani mereka. Hal ini mungkin membuat mereka menilai situasi mereka sebagai mengerikan, dan karenanya membutuhkan tanggapan yang luar biasa di berbagai tingkatan,” tulisnya.

Tetapi seperti yang ditunjukkan oleh Ammar Khan Nasir, bahkan di antara para Deoband yang setia dan mendukung perjuangan reformis Syah Ismail, ada keberatan dan ketidaknyamanan pada retorika reformasi yang terakhir. Ini adalah sentimen yang disuarakan oleh generasi baru Deobandī, Anwar Shāh Kashmīrī (w. 1933), yang menganggap dirinya pendukung reformasi ini.

Sumber:

http://contendingmodernities.nd.edu/theorizing-modernities/tareen-ironies-of-history/

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement