Selasa 09 Mar 2021 23:45 WIB

Kisah Pembawa Kepala Cucu Nabi Muhammad

Kepala cucu Nabi Muhammad dipenggal musuh.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Kisah Pembawa Kepala Cucu Nabi Muhammad. Foto:   Sahabat Nabi (Ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Kisah Pembawa Kepala Cucu Nabi Muhammad. Foto: Sahabat Nabi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH --  Perang Thaf di Karbala berujung pada kematian cucu Rasulullah ﷺ, al-Husain. Tragedi pada tahun 61 Hijriah itu merupakan musibah yang begitu besar. Dalam kejadian tersebut, kepala al-Husain dipenggal oleh pasukan musuh.

Dikutip dari buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, dari Tarikh ath-Thabari, setelah al-Husain terbujur kaku di atas tanah Karbala, dalam kondisi kepala terpisah dari badannya, Umar bin Sa'ad memerintahkan Khauli bin Yazid agar membawa kepala sang Imam ke hadapan Ubaidullah bin Ziyad di Kufah.

Baca Juga

Setibanya di kota itu, Khauli pun bergegas menuju istana Ubaidullah, tetapi ternyata pintu gerbangnya sudah ditutup. Akhirnya, Khauli membawa kepala itu ke rumahnya lalu menyimpannya di dalam ember. 

Seperti umumnya prajurit yang baru pulang dari peperangan, Khauli pun langsung menemui istrinya, an-Nawwar binti Malik al-Hadhramiyah, lalu berbaring di tempat tidurnya. lstrinya bertanya: "Kabar apa yang kamu bawa, suamiku? Hasil apa yang kamu bawa hari ini?" Khauli menjawab: "Aku membawakan kekayaan sepanjang masa untukmu, kepala al-Husain sudah ada di rumah ini".

Mendengar jawaban itu, an-Nawwar langsung menghardiknya: "Celaka kamu! Orang lain pulang membawa emas dan perak, tetapi kamu pulang membawa kepala cucu Nabi! Demi Allah, aku tidak sudi tinggal serumah denganmu lagi, selamanya!"

Wanita ini lama menanti sang suami pulang dan berharap ia kembali dengan membawa berita gembira, juga emas dan perak lazimnya yang dibawa seorang prajurit sekembalinya dari medan perang. Namun suaminya justru membawa sesuatu yang membunuh kebahagiaannya, selamanya. 

Sang suami pulang membawa kepala al-Husain, cucu Rasulullah. Yang lebih menyedihkan, ia menyampaikan berita tersebut dengan wajah gembira, pertanda kerelaannya atas pembunuhan al-Husain. Namun, apakah an-Nawwar senang dengan hal itu? Sama sekali tidak. Itulah mengapa dia memilih untuk tidak lagi tidur dengan Khauli dan bersumpah untuk tidak tinggal seatap lagi dengannya selamanya. 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement