Selasa 09 Mar 2021 17:42 WIB

Memaksimalkan Penyerapan Beras Petani Sebelum Impor

Kebijakan impor dirasa tak bijak di masa panen raya beras.

Warga membersihkan gabah dari jerami saat mencari gabah sisa panen di persawahan Desa Hadipolo, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (9/3/2021). Pemerintah akan melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton dengan alasan untuk menjaga stok beras nasional serta menjaga pasokan beras bansos selama masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sekaligus untuk antisipasi berkurangnya persediaan pasokan beras akibat banjir yang menerjang di beberapa daerah.
Foto: ANTARA/Yusuf Nugroho
Warga membersihkan gabah dari jerami saat mencari gabah sisa panen di persawahan Desa Hadipolo, Kudus, Jawa Tengah, Selasa (9/3/2021). Pemerintah akan melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton dengan alasan untuk menjaga stok beras nasional serta menjaga pasokan beras bansos selama masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sekaligus untuk antisipasi berkurangnya persediaan pasokan beras akibat banjir yang menerjang di beberapa daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan Nasution, Antara

Rencana melakukan impor beras oleh pemerintah dianggap perlu dilakukan secara berhati-hati. Setidaknya pemerintah harus melakukan juga cara-cara untuk memaksimalkan penyerapan beras dari petani.

Baca Juga

Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, mengatakan Perum Bulog perlu melakukan sejumlah langkah guna memaksimalkan penyerapan beras dari petani sebelum memutuskan untuk mengimpor beras. "Pemerintah dapat memaksimalkan penyerapan beras dari petani karena berdasarkan data BPS, terdapat peningkatan produksi di tahun 2020 kalau dibandingkan dengan 2019. Selain itu, impor juga kurang bijak kalau dilakukan di masa panen raya," katanya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (9/3).

Menurut dia, memasuki masa panen pada Maret hingga April, produksi beras dalam negeri dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola oleh Bulog. Sementara itu, lanjutnya, izin impor yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dari masih kurangnya pasokan beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk cadangan bencana maupun krisis pangan.

"Pergerakan harga beras dari waktu-waktu seharusnya bisa dijadikan salah satu acuan dalam menentukan perlu tidaknya impor beras," ujar Felippa. Ia mengingatkan BPS mencatat bahwa produksi beras tahun 2020 mencapai 31,63 juta ton atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar sebesar 31,31 juta ton.

BPS menyebut pula bahwa angka produksi tersebut diperoleh dari luas panen padi 2020 mencapai 10,79 juta hektare atau mengalami kenaikan 108,93 ribu hektare atau 1,02 persen dibandingkan luas panen tahun 2019 yang sebesar 10,68 juta hektare. Felippa menambahkan eksekusi impor beras dapat mempertimbangkan berbagai faktor, seperti ketersediaan pasokan di dalam negeri, hasil panen, dan juga harga beras internasional yang sedang murah.

Perlu dipertimbangkan pula bahwa proses impor memakan waktu yang lama, dari pembelian hingga distribusinya. "Izin impor yang sudah dikeluarkan dapat digunakan sewaktu-waktu dalam merespons permintaan dalam negeri. Antisipasi bertambahnya permintaan beras dari dalam negeri perlu dilakukan menjelang datangnya bulan Ramadan dan juga Idul Fitri," paparnya.

Selain itu, ujar dia, ketersediaan pasokan beras yang mencukupi juga merupakan bentuk antisipasi atas kemungkinan krisis pangan akibat pandemi yang dinilai telah menimbulkan kerawanan pangan bagi banyak masyarakat Indonesia. Felippa mengingatkan pentingnya data yang akurat sebagai salah satu basis pengambilan kebijakan di sektor pertanian, termasuk impor.

Data akurat dan harmonis antarsemua institusi dapat dijadikan basis pengambilan kebijakan yang efektif dalam sektor pertanian. "Diharapkan hal ini dapat membantu perumusan kebijakan impor sejak dari jauh-hari, selain juga perlu mempertimbangkan panjangnya proses impor," ucapnya.

Pemerintah berencana melakukan impor beras sekitar satu juta ton pada awal 2021 ini. Jumlah tersebut dialokasikan untuk penyediaan CBP sebanyak 500 ribu ton dan kebutuhan Perum Bulog sebanyak 500 ribu ton dengan memperhatikan serapan produksi padi nasional.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) namun menyatakan belum menerbitkan izin untuk importasi beras oleh Perum bulog. Kemendag memastikan, pemerintah akan mempertimbangkan situasi dalam negeri untuk merealisasikan kebijakan impor beras.

"Izinnya juga belum diterbitkan. Tentunya kondisi dalam negeri seperti musim panen akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan impor," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi, kepada Republika.

Didi menjelaskan, opsi impor beras juga melihat situasi pasar dunia terhadap persediaan stok dari negara-negara produsen. Menurutnya, saat ini kondisi panen beras di luar negeri masih kurang menggembirakan. Itu lantaran terjadi penurunan produksi. "Seperti di Vietnam dan Thailand," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaluddin Iqbal, mengatakan, sekalipun pemerintah sudah resmi menugaskan Bulog mengimpor beras, pihaknya akan melihat sejumlah pertimbangan di dalam negeri. Ia menegaskan, Bulog tidak dalam kapasitas untuk analisa perlu atau tidak perlu impor beras karena bertindak sebagai operator. Awaluddin mengatakan, saat ini Bulog tetap fokus pada penyerapan gabah karena sejumlah daerah sudah memasuki masa panen.

"Penyerapan gabah sudah jalan di mana-mana. Prinsipnya pengadaan dalam negeri adalah prioritas dan sekarang waktunya panen," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement