Ahad 07 Mar 2021 20:01 WIB

Langkah Indonesia dalam Krisis Myanmar Dinilai Sudah Tepat

Krisis Myanmar menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN.

Rep: Lintar Satria/ Red: Dwi Murdaningsih
 Petugas polisi membawa mayat saat unjuk rasa menentang kudeta militer di Monywa, Myanmar 3 Maret 2021 dalam tangkapan layar ini dari video media sosial yang diambil dengan drone dan diperoleh oleh REUTERS. Video diambil 3 Maret 2021.
Foto: REUTERS
Petugas polisi membawa mayat saat unjuk rasa menentang kudeta militer di Monywa, Myanmar 3 Maret 2021 dalam tangkapan layar ini dari video media sosial yang diambil dengan drone dan diperoleh oleh REUTERS. Video diambil 3 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai langkah Indonesia dalam krisis Myanmar sudah tepat. Kritis terhadap kekerasan pada pengunjuk rasa damai, tapi tidak mendesak dan menghakimi.  

"Ibu Menteri Luar Negeri (Retno Marsudi) sudah tepat, menghargai Piagam ASEAN, menghargai prinsip-prinsip piagam PBB dan tidak menghakimi Myanmar, Indonesia mengatakan agar terlahirnya rekonsiliasi, normatif tapi jelas aturannya, kemudian menghormat hukum-hukum internasional," kata Teuku, Ahad (7/3).

Baca Juga

Teuku mengatakan ASEAN juga memosisikan diri dalam krisis Myanmar bukan pihak yang menghakimi, melainkan pihak yang bersedia untuk melakukan dialog. Hal ini dapat dilihat dalam pertemuan informal antara Retno dan Menteri Luar Negeri pemerintahan militer Myanmar Wunna Maung Lwin di Bandara Don Muang.

"Mereka juga hendaknya melihat Indonesia memperlakukan Myanmar sebagai saudara yang sedang mengalami masalah keluarga dan dibantu bukannya dihakimi, mereka lihat sendiri ASEAN bergerak seperti apa, cara gerak Ibu Menlu sudah benar," katanya.

"Saat berbicara dengan Menteri-menteri Luar Negeri ASEAN, Ibu Menlu juga sudah punya amunisi, bagaimana bicara dengan China, dengan Amerika, dengan Uni Eropa, dan negara-negara lain, walaupun dialog kemarin gagal, tidak menghasil konsensus yang tepat guna tapi paling tidak menunjukkan pada Myanmar hanya ASEAN yang dapat diajak bicara," kata Teuku.

Teuku mengatakan Indonesia memperlakukan Myanmar sebagai anggota keluarga yang sedang memiliki masalah dan sedang berupaya menyelesaikan masalah itu dengan baik. Ia menambahkan krisis Myanmar menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN.

"Indonesia tidak pernah mengaku sebagai pemimpin ASEAN tapi kenyataannya sebagai ekonomi terbesar, wilayah terluas, penduduk terbanyak, otomatis pihak lain mengakui Indonesia pemimpin ASEAN dan memang amanah konstitusi juga untuk mengharuskan Indonesia menjaga dan memelihara perdamaian dunia, jadi dapat dimengerti Indonesia pihak yang paling berkepentingan kembalinya Myanmar ke sistem demokrasi," katanya.

Teuku melanjutkan harapannya dengan dialog terus menerus  pemimpin-pemimpin Myanmar sadar untuk melakukan rekonsialiasi. Sebab, masyarakat sadar sejarah pemimpin dilihat dari kemampuannya menerapkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan.  

"Indonesia dapat membuka diri pada Myanmar artinya Myanmar dapat mengambil hikmah dari pengalaman Indonesia, langkah-langkah Indonesia sudah benar tapi tidak berarti ada langkah-langkah selanjutnya," kata Teuku.

Teuku mengatakan langkah-langkah yang Indonesia lakukan terhadap krisis Myanmar selama ini langkah-langkah formal. Menurutnya Indonesia dapat mengambil langkah-langkah informal seperti mengajak tokoh-tokoh nasional non-pemerintah untuk berbagi pengalaman demokrasi dengan Myanmar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement