Jumat 05 Mar 2021 15:29 WIB

Pemerintah Perlu Buat Kebijakan Hadapi Predatory Pricing

Pemerintah perlu membatasi jumlah penjualan barang impor di marketplace.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
Warga membeli barang secara online melalui gadget miliknya di Bogor, Jawa Barat, Selasa (24/1). Pemerintah perlu membatasi jumlah penjualan barang impor di marketplace.
Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA
Warga membeli barang secara online melalui gadget miliknya di Bogor, Jawa Barat, Selasa (24/1). Pemerintah perlu membatasi jumlah penjualan barang impor di marketplace.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo mengatakan soal bahaya dari permainan harga atau predatory pricing. Ia menegaskan, predatory pricing kini banyak dilakukan oleh pelaku usaha, sehingga dapat membunuh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Hal itu yang membuatnya menyatakan, benci produk luar negeri. Sekaligus mengajak masyarakat mencintai produk lokal. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah sebenarnya tidak melakukan apapun, bahkan cenderung membiarkan  banjir produk asing di pasar digital. 

"Selama ini kan seolah baik-baik saja, tidak ada pembatasan barang asing yang dijual di marketplace. Padahal pemerintah juga tahu strategi predatory pricing sangat terstruktur dilakukan oleh startup e-commerce," jelasnya kepada Republika.co.id, Jumat (5/3).

Ia menjelaskan, predatory pricing merupakan strategi mematikan produsen lokal. Bhima mencontohkan implementasi strategi tersebut dalam perdagangan. 

"Di China industri rumahan atau UMKM berada dalam sentralisasi produksi yang disebut Taobao Village. Produk kemudian dijual menggunakan platform Taobao, di mana platform ini dikembangkan oleh Alibaba group. Untuk membuat produk memiliki harga yang murah, pemerintah China melakukan berbagai cara salah satunya dengan subsidi  kepada usaha rumahan, dan membantu biaya bea keluar barang serta bantuan logistik," tutur dia. 

Konsep Taobao Village, lanjutnya, kemudian berkembang melalui orientasi pasar negara berkembang seperti Indonesia. Alibaba melakukan suntikan besar-besaran kepada platform e-commerce lokal dan akhirnya ada promo diskon gratis ongkir dan sebagainya. 

"Strategi ini cukup berhasil membuat produk impor barang konsumsi dominan di marketplace," jelas Bhima. Ia menyebutkan, Studi Indef menunjukkan produk lokal yang diperdagangkan secara online hanya 25,9 persen. 

Maka seharusnya, tegas dia, pemerintah jangan berhenti pada slogan. Melainkan langsung keluarkan kebijakan, guna membendung dominasi barang impor.

"Misalnya pembatasan maksimum 30 persen barang impor yang boleh dijual di platform e-commerce baik B2B maupun B2C. Lalu pembatasan berdasarkan country of origin atau negara tempat produksi asal," jelas Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement