Jumat 05 Mar 2021 00:02 WIB

ICW Kritik Rencana Penerbitan SP3 oleh KPK

KPK berencana menghentikan penyidikan suatu kasus korupsi dalam waktu dekat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana jelaskan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan atau SP3. Menurut ICW, penghentian perkara merupakan rangkaian dari efek buruk perubahan regulasi kelembagaan KPK.

"Sejak awal, ICW menentang seluruh substansi yang tertuang dalam revisi UU KPK, tak terkecuali perihal SP3. Untuk itu, maka, rencana menghentikan perkara yang baru saja disampaikan oleh pimpinan tersebut merupakan rangkaian dari efek buruk perubahan regulasi kelembagaan KPK," tegas peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya kepada Republika, Kamis (4/3).

Baca Juga

Sebelumnya, pada Selasa (2/3), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, mengatakan kemungkinan akan ada kasus yang dihentikan oleh lembaganya di tahun ini. Namun, ia enggan menyebut secara gamblang kasus yang dimaksud.

ICW menilai, penghentian perkara yang dilakukan KPK rawan dijadikan 'bancakan' korupsi. Sebab, bukan tidak mungkin, di tengah problematika kepemimpinan saat ini, penilaian kelayakan sebuah perkara akan dilanjutkan atau tidak didasarkan atas pandangan subjektivitas semata.

Tak hanya itu, penghentian perkara pun bertentangan dengan putusan MK No 006/PUU-1/2003 tertanggal 30 Maret 2004. Dalam putusan itu secara jelas menyebutkan adanya kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan jika KPK diberi kemampuan untuk mengeluarkan SP3.

Selain itu, adanya limitasi waktu 2 tahun yang disebutkan dalam revisi UU KPK pun terasa janggal. Sebab, sebagai kejahatan luar biasa semestinya aturan yang tertera dalam UU KPK memperketat ruang untuk menghentikan penyidikan atau pun penuntutan.

"Ini justru sebaliknya, dalam KUHAP sama sekali tidak ada menyinggung tentang pembatasan waktu penegak hukum menangani sebuah perkara, " tutur Kurnia.

"Praktis Pasal 109 ayat (2) KUHAP hanya menyinggung tentang: tidak diperoleh bukti yamg cukup, bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian penyidikan demi hukum (tersangka meninggal dunia, nebis in idem, atau kadaluwarsa)," tambahnya.

Sebenarnya, lanjut Kurnia, ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh KPK untuk menghentikan perkara tanpa harus diberi kewenangan SP3. Pertama, KPK dapat melimpahkan perkara yang dinilai tidak memenuhi klausul “bukti permulaan yang cukup” ke penegak hukum lain, baik Kepolisian maupun Kejaksaan.

"Ketika proses pelimpahan selesai, penegak hukum lain lah yang mengeluarkan SP3, bukan KPK," ucap Kurnia.

KPK, sambung Kurnia, juga dapat menghentikan proses penanganan perkara pada tingkat penyelidikan. Sebab, definisi penyelidikan di UU KPK memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan KUHAP.

"Dalam UU KPK, penyelidikan sudah berbicara mengenai pencarian bukti permulaan yang cukup, sedangkan KUHAP tidak seperti itu, " ujarnya.

Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

"Kemungkinan ada (yang di-SP3) karena setelah kami petakan ada beberapa case yang masih ingat ketika ditetapkan tersangka di tahun 2016 sampai sekarang belum naik juga. Apa alasannya, nanti kita akan minta disisir. Perkara apa, hambatannya gimana, dan apakah dimungkinkan dilanjutkan atau tidak," kata Alexander kepada wartawan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (2/3).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement