Kamis 04 Mar 2021 07:58 WIB

Utusan PBB: Hari Paling Berdarah di Myanmar, 38 Orang Tewas

Junta Myanmar terus meningkatkan cengkeramannya dan menentang kecaman dunia.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
 Para pengunjuk rasa menghadapi petugas polisi selama protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 03 Maret 2021. Menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menyerukan penghentian kekerasan selama pertemuan pada 2 Maret ketika protes berlanjut di tengah ketegangan yang meningkat di negara antara pengunjuk rasa anti-kudeta dan pasukan keamanan.
Foto: EPA-EFE/NYEIN CHAN NAING
Para pengunjuk rasa menghadapi petugas polisi selama protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 03 Maret 2021. Menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menyerukan penghentian kekerasan selama pertemuan pada 2 Maret ketika protes berlanjut di tengah ketegangan yang meningkat di negara antara pengunjuk rasa anti-kudeta dan pasukan keamanan.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- PBB mencatat sekurangnya 38 orang terbunuh dalam hari paling berdarah pada Rabu (3/2) menyusul protes massa antikudeta di Myanmar. Pemerintah militer justru meningkatkan cengkeramannya dalam menentang kecaman internasional atas tindakan keras junta terhadap pengunjuk rasa.

"Hanya hari ini, 38 orang tewas," ujar utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener pada Rabu waktu setempat, dikutip laman Channel News Asia, Kamis (4/3).

Baca Juga

Dia menambahkan, lebih dari 50 orang tewas secara total sejak pengambilalihan militer. Sementara, lebih banyak lagi yang terluka. "Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta terjadi," katanya tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Burgener meminta PBB untuk mengambil tindakan sangat keras terhadap para jenderal. Dia juga mengatakan, percakapannya dengan militer, mereka telah menepis ancaman sanksi. "Saya akan terus maju, kami tidak akan menyerah," katanya.

Kekerasan membuat Amerika Serikat (AS) "terkejut dan jijik". "Kami meminta semua negara untuk berbicara dengan satu suara untuk mengutuk kekerasan brutal oleh militer Burma terhadap rakyatnya sendiri," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.

Dia meminta China yang sering dianggap oleh militer Myanmar sebagai sekutu utamanya untuk menekan junta. "China memang memiliki pengaruh di kawasan itu. Itu memang memiliki pengaruh dengan junta militer. Kami telah meminta China untuk menggunakan pengaruh itu dengan cara yang konstruktif, dengan cara yang memajukan kepentingan rakyat Burma," kata Price.

Baca juga : Indonesia Desak Militer Myanmar Hentikan Tindakan Kekerasan

Price juga mengatakan, AS tengah mempertimbangan tindakan lebih lanjut setelah sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin junta. Sebelumnya, kantor berita AFP mencatat sekurangnya 17 kematian di seluruh Myanmar pada Rabu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement