Rabu 03 Mar 2021 12:47 WIB

Polisi Virtual Kenapa tak Urusi Peretasan Saja?

Polisi cukup melakukan edukasi tiada henti mengenai etika bermedia sosial.

Polisi Virtual
Foto: Republika
Polisi Virtual

Oleh : Dwi Murdaningsih*

REPUBLIKA.CO.ID, Kepolisian Republik Indonesia kini memiliki polisi virtual. Polisi virtual mulai mengirimkan peringatan ke sejumlah akun media sosial yang mengungah konten yang berpotensi tindak pidana.

Polisi virtual akan bertugas membeikan edukasi kepada masyarakat terkait UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Nantinya, virtual police akan berpatroli di dunia maya untuk menegur masyarakat pengguna media sosial jika ada potensi pelanggaran UU ITE.

Sederhananya, media sosial kini akan diawasi oleh polisi. Bagi warganet yang unggahannya berpotensi melanggar UU ITE akan diberi peringatan melalui Direct Message. Tim patroli siber ini akan meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE sebelum memberikan peringatan virtual ke terduga pelanggar UU ITE. Polisi akan meminta unggahan yang berpotensi pidana ini dikoreksi atau dihapus.

Banyak orang khawatir adanya polisi siber berdampak pada kebebasan berpendapat atau berekspresi dari warga. Padahal, selama ini media sosial diyakini sebagai wadah pendapat warga yang mungkin tidak bisa muncul di media mainstream.

Adanya media sosial memang seperti dua sisi mata uang. Ya benar jika media sosial bisa menjadi wadah eskpresi bagi mereka yang tidak terfasilitasi oleh media mainstream. Tapi, memang banyak juga informasi yang beredar di media sosial yang berupa hoaks atau berita bohong.

Hal ini juga 'menambah' tugas bagi media mainstream untuk mencari kebenaran. Tentu kita sering mendengar bahwa kebohongan yang terucap berulang-ulang mungkin bisa tampak sebagai kebenaran. Begitu pula soal hoaks di media sosial. Jika viral, bukan tidak mungkin apa yang sebetulnya hoaks dianggap sebagai kebenaran oleh warga (net).

Kembali lagi soal polisi siber, polisi siber adalah kontra dari penjahat siber. Dalam websitenya, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) adalah satuan kerja yang berada di bawah Bareskrim Polri dan bertugas untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber.

Kejahatan siber lingkupnya cukup luas. Dalam website patrolisiber sendiri kejahatan siber dibagi menjadi  computer crime dan computer-related crime. Computer crime adalah kelompok kejahatan siber yang menggunakan komputer sebagai alat utama.

Bentuk kejahatannya adalah peretasan sistem elektronik (hacking), intersepsi ilegal (illegal interception), pengubahan tampilan situs web (web defacement), gangguan sistem (system interference), manipulasi data (data manipulation).

Computer-related crime adalah kejahatan siber yang menggunakan komputer sebagai alat bantu, seperti pornografi dalam jaringan (online pornography), perjudian dalam jaringan (online gamble), pencemaran nama baik (online defamation), pemerasan dalam jaringan (online extortion), penipuan dalam jaringan (online fraud), ujaran kebencian (hate speech), pengancaman dalam jaringan (online threat), akses ilegal (illegal access), pencurian data (data theft).

Ngomong-ngomong soal polisi siber ini, saya jadi bertanya-tanya, kenapa Polri tidak fokus saja menangani penjahat siber yang sering melakukan peretasan demi mendapatkan keuntungan pribadi? Mengapa malah justru mengurusi tata bahasa netizen? Atau, polisi siber ini lebih fokus dalam menangani pornografi online dan perjudian online?

Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sepanjang tahun ini hingga November 2020 terdapat sebanyak 423 juta kali serangan siber yang menyasar Indonesia. Namun lembaga keamanan siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) memprediksi jumlah serangan siber di Indonesia bisa terhitung satu miliar kali pada 2020.

Serangan siber ini tentu sangat banyak terjadi di Indonesia. Kenapa Polri tidak fokus membereskan masalah itu saja? Saya ingat, dalam sebulan belakangan, tiga orang teman saya menjadi korban peretasan. Seperti yang sudah diduga, akun mereka dimanfaatkan untuk berupaya menipu.

Perkara ujaran kebencian yang menjadi fokus penanganan polisi virtual menurut penulis sebenarnya polisi cukup dalam sisi edukasi saja. Polri mungkin perlu terus menerus melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai etika bermedia sosial. Jangan mentang-mentang mengomentari orang yang tidak ada di hadapan kita, lalu bisa suka-suka tanpa etika. Tapi ya memang soal edukasi ini parameter keberhasilannya tidak kualitatif.

Untuk mencegah ujaran kebencian atau hal-hal yang mengacu pada pelanggaran UU ITE, Polri bisa berkolaborasi dengan perusahaan media sosial.

Perusahaan media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram atau Youtube dengan teknologi kecerdasan buatan yang dimilikinya saya yakin bisa digandeng untuk bersama mencegah ujaran kebencian.

Di Twitter, pengguna bisa melakukan setting untuk tidak melihat postingan tertentu, postingan kekerasan misalnya. Twitter juga kadang memperingatkan kepada pengguna bahwa konten-konten tertentu mungkin mengandung unsur kekerasan.

Mungkin perusahaan-perusahaan itu bisa mengidentifikasi lalu memberikan notifikasi kepada pengguna mengacu kepada frasa-frasa tertentu yang mengarah kepada ujaran kebencian sebelum sebuah postingan atau komentar diunggah. Contohnya: saya ingin berkomentar yang mungkin berpotensi melanggar UU ITE, lalu muncul notifikasi: unggahan ini berpotensi melanggar UU ITE, apa anda ingin merevisinya?

Ketika ada postingan atau komentar yang mengarah kepada ujaran kebencian, kita sebagai pengguna media sosial juga bisa meng-klik 'laporkan sebagai spam', dan selanjutnya agar media sosial itu yang melakukan moderasi dengan pengguna. Baru kalau ada yang melapor secara pidana menjadi ranah polisi. Biar bagaimanapun, media sosial juga memiliki tanggung jawab agar konten-konten yang ada di platform mereka bisa bebas dari unsur-unsur kebencian atau cyberbullying.

Penulis sangat setuju bahwa dalam bermedia sosial, kita sebagai pengguna internet juga harus memiliki etika. Sebab, setiap kata yang kita tuliskan mungkin berdampak kepada orang lain. Saya yakin netizen di Indonesia, mereka juga ingin memiliki media sosial yang ramah, yang bebas dari ujaran kebencian atau cyberbullying.

Semua warganet harus memiliki etika di media sosial, menjauhi dari kata-kata kotor atau cyberbullying. Mengutip pesohor Najwa Shihab yang disampaikan dalam podcastnya bersama Armand Maulana, untuk mencegah cyberbulling adalah bahwa semua warga harus membawa etika yang ada di kehidupan nyata ke dunia maya. Jangan berlindung di akun anonim untuk melakukan cyberbullying. Tidak mungkin kan, kita memaki-maki orang atau berkomentar sesuka hati tanpa etika kepada orang lain? Apalagi kepada orang yang tidak kita kenal?

Yuk, lebih bijak bermedia sosial, baca duka kali kebelum klik publish di media sosial, jangan sampai kata-kata yang diketik di media sosial berdampak buruk kepada orang lain.

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement