Rabu 03 Mar 2021 05:46 WIB

Nasabah di Antara Transaksi Digital dan Pemulihan Ekonomi

LPS sarankan bank antisipasi risiko fraud dialami nasabah dalam transaksi digital.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Kantor Lembaga Penjamin Simpnana (LPS) di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Foto: Dok Setkab
Kantor Lembaga Penjamin Simpnana (LPS) di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 membawa perubahan luar biasa bagi perilaku nasabah perbankan. Aturan larangan berkerumunan dan social distancing membuat nasabah semakin menghindari untuk bertemu orang lain. Mereka pun akhirnya semakin jarang untuk bertransaksi secara konvensional.

Nasabah jelas semakin enggan untuk mendatangi kantor bank jika memang transaksi bisa dilakukan secara digital. Tidak hanya itu, untuk pergi ke anjungan tunai mandiri (ATM) pun intensitasnya berkurang. Fenomena tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak sebelum pandemi Covid-19 menerjang Indonesia pada awal Maret 2020.

Namun, efek pandemi membuat semakin banyak nasabah untuk beralih memanfaatkan layanan digital perbankan. Kini, fasilitas mobile dan internet banking seolah menjadi favorit bagi nasabah untuk bertransaksi.

Apalagi, ekosistem juga mendukung transaksi dilakukan secara digital. Saat ini, semakin banyak fasilitas jual beli secara daring (online). Pun transaksi digital juga semakin mudah, cukup lewat aplikasi di ponsel bisa langsung diselesaikan. Ada pula ATM yang memiliki fasilitas setor tunai, selain penarikan uang yang sudah sejak lama tersedia.

Sehingga dengan berbagai kemudahan itu, nasabah tidak perlu lagi mendatangi kantor perbankan untuk setiap transaksi. Semuanya menjadi lebih efektif dengan hadirnya fasilitas digital. Pihak perbankan pun bukan terlewat menyadari hal itu. Buktinya mereka semakin banyak meluncurkan fitur baru agar nasabah bisa semakin nyaman dan aman dalam bertransaksi.

Misalnya, Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mencatat transaksi di kantor cabang maupun ATM menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat bersamaan, arus transaksi di internet banking melonjak drastis, khususnya sejak era pandemi. Pada akhir Desember 2020, emiten bank berkode saham BBRI ini mencatat 2,7 miliar transaksi atau naik 132,2 persen secara year on year (yoy).

Manajemen BRI menganggap, pandemi menjadi akselerator bagi perbankan untuk bertransformasi menggarap sektor digital. Karena pada saat bersamaan, transaksi digital terus naik di aplikasi Brimo, yang mencatat 765 juta transaksi atau meningkat 660,5 persen secara yoy. Di sisi lain, transaksi nasabah di ATM hanya tumbuh 0,6 persen dan di agen Brilink naik 39,6 persen sepanjang 2020.

Data itu jelas bisa menjadi indikasi nasabah melakukan shifting dengan merasa lebih nyaman dan praktis kala memilih fitur transaksi digital. Dengan hanya memegang ponsel, mereka bisa membeli, membayar, mentransfer, hingga menjual barang.

Pada saat bersamaan, perbankan juga menerima fee dan commission income. BRI mencatat sepanjang 2020, mampu mengumpulkan Rp 15,18 triliun atau meningkat 6,6 persen daripada 2019 sebanyak Rp 14,29 persen. Pendapatan dari biaya transaksi dan pengurangan kantor secara bersamaan semakin membuat perbankan efisien dalam mengumpulkan laba.

Pada saat biaya yang dikeluarkan terus berkurang akibat kebijakan efisiensi, di sisi lain pendapataan semakin naik pada era digital. Karena itu, BRI ke depannya terus berinovasi dengan menyediakan beragam fasilitas dan aplikasi terbaru guna melayani kebutuhan nasabah agar semakin mudah dalam menjalankan transaksi secara digital.

Bank Mandiri juga mencatat adanya peralihan peralihan transaksi nasabah ke kanal digital dalam beberapa tahun terakhir, dan dipercepat dengan adanya pandemi Covid-19. Patokannya adalah bertambahnya penggunaan fasilitas Mandiri Online (internet banking) dan layanan bisnis Mandiri Cash Management (MCM), yang diiringi menurunnya transaksi di kantor cabang dan ATM.

Emiten dengan kode saham BMRI ini mencatat, transaksi di Mandiri Online pada 2020 naik lebih 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya atau total menjadi 620 juta transaksi, dan lebih 20 persen atau sekitar 83 juta transaksi dilakukan di MCM. Hal itu berimbas kepada pendapatan komisi bank yang ikut terdongkrak.

Tidak mengherankan, Bank Mandiri pada tahun ini, menyiapkan empat strategi utama dalam mengembangkan layanan perbankan digital.  Strategi tersebut, meliputi digitalisasi proses internal, pengembangan produk digital secara end-to-end, modernisasi layanan eksisting, dan menjadi pelaku aktif di dalam ekosistem digital.

Dengan begitu, perbankan ingin menggaet nasabah supaya loyal menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan Bank Mandiri di era transaksi digital menjadi sebuah kebutuhan yang tak tergantikan. Sehingga, nasabah tertarik terus menggunakan opsi transaksi digital dalam kehidupan sehari-hari.

Antisipasi fraud

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sudah menyadari, adanya pergeseran transaksi konvensional ke digital di kalangan perbankan. Karena itu, LPS mendorong semua bank untuk mempersiapkan jaringan guna mengoptimalkan transaksi digital banking agar tidak ada kendala yang dihadapi nasabah. Pasalnya, tren digital banking terus meningkat dan bakal menjadi sebuah kebutuhan yang tak bisa digantikan dalam hitungan beberapa tahun lagi.

Kepala Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS, Dody Arifianto, mengingatkan, perbankan harus mengantisipasi kenaikan transaksi lewat mobile dan internet banking dengan memperkuat infrastruktur dan perangkat lunak. Dengan fasilitas yang dapat diandalkan dan mudah diakses nasabah maka transaksi digital menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan nasabah sehari-hari.

Hanya saja, LPS menyarankan perbankan perlu membuat skenario atau mengantisipasi terjadinya risiko fraud untuk meningkatkan preferensi nasabah. Karena bagaimana pun juga, kejahatan digital semakin marak belakangan ini. Nasabah tentu perlu mendapat jaminan keamanan ketika mereka bertransaksi.

Pun jika ada masalah pencurian atau pembobolan data, bank harus siap menanggulanginya demi menjaga kepercayaan dan amanah nasabah. Hanya saja, jika ada kasus, seperti tabungan tiba-tiba lenyap atau bank mengalami masalah likuditas, hingga bangkrut, di sini LPS bisa menjaminnya. Dengan begitu, seluruh nasabah tidak perlu khawatir untuk menempatkan uangnya di bank.

Memang kadang muncul kasus nominal tabungan nasabah berkurang, bahkan hilang. Padahal, ia tidak pernah bertransaksi. Dalam konteks ini, LPS memiliki wewenang untuk mendesak perbankan mengganti kehilangan dana nasabah yang diakibatkan bukan kelalaian mereka. Dengan catatan, memang nominal rekening 'tercatat pada pembukuan bank'.

Apalagi, LPS dalam menjamin klaim nasabah menggunakan data Pelaporan Data Penjaminan Simpanan Berbasis Nasabah atau Single Customer View (SCV). Inovasi baru LPS tersebut bertujuan untuk menjaga kepercayaan nasabah perbankan. SCV sendiri merupakan informasi menyeluruh terkait simpanan dan pinjaman setiap nasabah dibank umum serta nilai simpanan yang dapat dijamin sesuai program penjaminan simpanan sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 2004 tentang LPS.

Selain itu, dalam Peraturan LPS Nomor 3 Tahun 2020, lembaga ini juga memiliki wewenang untuk menempatkan dana di bank yang dianggap bermasalah akibat pandemi Covid-19. Dengan berbagai langkah pencegahan itu, muaranya hanya satu, yaitu agar uang nasabah tetap aman dan bank dalam kondisi sehat, karena semua aktivitas perbankan dipantau LPS.

Karena itu, nasabah tidak perlu ragu untuk menaruh dananya di bank agar bisa mudah bertransaksi secara digital. LPS menjamin simpanan nasabah di bank maksimal Rp 2 miliar. Jaminan itu dibuat jika suatu hari ada perbankan yang mengalami bangkrut atau dalam kondisi gagal bayar maka uang simpanan nasabah sebesar Rp 2 miliar ke bawah bakal diganti LPS.

Pada saat ekonomi Indonesia masih mengalami kontraksi 2,07 persen pada 2020 akibat pandemi, tentu aktivitas masyarakat yang percaya bertransaksi secara digital sangat aman dan terjamin bisa ikut mendorong ekonomi menggeliat kembali. Karena jika semua nasabah hanya menaruh uangnya di bank tanpa melakukan transaksi maka perputaran uang tidak berjalan.

Kondisi itu bisa membuat ekonomi menjadi stagnan, bahkan minus. Ujungnya pemulihan ekonomi yang dicanangkan pemerintah sulit untuk terealisasi. Tidak heran, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mendorong masyarakat untuk terus belanja sebagai upaya membantu pemerintah memulihkan ekonomi. Karena dengan belanja dan bertransaksi maka ekonomi bisa bergulir.

Ujungnya, aktivitas ekonomi di masyarakat bisa pulih jika permintaan semakin banyak. Hal itu juga didukung dengan transaksi digital yang semakin meluas dan cepat, yang berdampak kepada percepatan pemulihan ekonomi nasional. Sehingga, jika skenario itu terwujud maka target ekonomi dapat kembali positif pada akhir tahun ini bisa dengan mudah tercapai.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement