Selasa 02 Mar 2021 10:51 WIB

Radikalisme Lagi ITB: Dari Sukarno Hingga Din Syamsuddin

Radikalisme ITB

Pintu masuk utama ITB tempo dulu. Berada di Hoogeschoolweg (sekarang Jalan Genesha) dan di seberang taman yang disebut IJzermanpark (sekarang Taman Ganesha)
Foto: google
Pintu masuk utama ITB tempo dulu. Berada di Hoogeschoolweg (sekarang Jalan Genesha) dan di seberang taman yang disebut IJzermanpark (sekarang Taman Ganesha)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaim Uchrowi, Penulis, Ketua Yayasan Karakter Pancasila, dan mantan Pimred Republika

“Selamat datang putra-putri terbaik bangsa.” Slogan itu terpampang di gerbang kampusnya. Gerbang batu dan semen dengan tanaman rambat berbunga yang menaunginya. Sederhana dan agak terkesan masa lalu. Tapi itulah yang membuat ITB, Institut Teknologi Bandung, memiliki wibawanya sendiri.

Putra-putra terbaik bangsa?  Tentu ini kalimat buat memotivasi. Agar ‘anak-anaknya’ berusaha menjadi yang terbaik. Di bidang apapun yang ditekuninya. Mereka anak-anak cerdas. Tantangannya bagaimana mereka tak sekadar cerdas. Tapi agar memang jadi yang terbaik. Dalam berbagai hal.

Motivasi itu tampaknya efektif. Tak sedikit anak-anak ITB yang kemudian membuktikannya. Menjadi orang-orang terbaik di berbagai bidang.  Membuat langkah-langkah luar biasa. Membuat langkah radikal.  Lebih dari kebanyakan orang lainnya. Soekarno salah satunya. 

Sukarno tak hanya jago membuat bangunan keren. Seperti Hotel Preanger di Asia Afrika, Bandung itu. Anak ITB ini juga mengarsiteki dan membangun negara. Bahkan membangunkan dunia dengan Gerakan Non Bloknya. Capaiannya sungguh radikal. Bukan biasa-biasa saja.

Ya, radikal. Saya pakai istilah ini buat menggambarkan hal yang bukan biasa-biasa saja. Sebab konon istilah radikal berasal dari kata radix. Akar. Berarti sesuatu yang mengakar. Sesuatu yang mendasar. Dunia ini terbangun oleh hal-hal mendasar. Hal radikal. Dunia maju karena hal-hal radikal. 

Perkenalan saya dengan keradikalan anak ITB terjadi pada 1978. Saat saya mulai kuliah di IPB, lalu ikut-ikutan aksi menentang pemerintah. Rasanya sangat gagah saat itu. Tokoh terpenting aksi itu siapa lagi kalau bukan Heri Akhmadi. Anak radikal ITB. Ia menamai anaknya Gempur Suharto. 

Saat tinggal di Amerika, ia mengaku ikut demontrasi tentang apapun. Bukan karena tertarik dengan aksi-aksi di sana.  Namun, katanya 25 tahun silam, agar dapat teriak-teriak sendiri. Menggempur Suharto dan sejenisnya. Kurang radikal apa anak ITB yang kini jadi duta besar di Jepang ini.

Dua sahabat terdekat saya juga anak ITB. Keduanya juga radikal. Kami seumur. Yang satu Farid Gaban, salah seorang jurnalis terbaik Indonesia. Berdemo seorang diri di Bundaran HI Jakarta, mengelilingi Indonesia dengan motor bututnya, hingga gigih menawarkan konsep blue economy-nya adalah keradikalan Farid. 

Seorang lagi Tommy Tamtomo. Sempat jadi wartawan Tempo, lalu berkarir di Republika hingga menjadi Pemimpin Redaksi. Dia mungkin wartawan paling cermat soal manajemen. Seorang yang sangat tertib dalam segala hal. Bahkan dia tahu siapa yang baru saja memakai kamar mandi. Hanya dengan menandai jejaknya saja.

Tetangga saya, Piet Supardi juga radikal. Bisnisnya sebagai kontraktor pelistrikan sukses besar. Tapi ia juga masih tertarik soal pelistrikan tubuh. Ia lalu menekuni terapi pijatnya buat membantu orang lain. Bantuan yang terbukti efektif, walau banyak yang menghindarinya. Sakitnya luar biasa.

Anak ITB lain yang radikal adalah Haidar Bagir. Dia pebisnis yang tak tertarik uang. Tapi bisnisnya, penerbit Mizan, maju pesat. Dia menulis buku tasawuf dan filsafat yang mudah dipahami awam macam saya. Saat ditanya apa kiat suksesnya berbisnis, ia menjawab ringan. “Kalau belajar filsafat, bisnis itu gampang kok.” 

Saya juga suka pada keradikalan Bu Nurhayati Subakat dan Pak Kuntoro Mangkusubroto. Bu Nurhayati gigih hadapi krisis ekonomi 1998. Maka mampu menyelamatkan usahanya dari ambruk. Bahkan mampu membuat Wardah jadi merek kosmetik teratas Indonesia. Kegigihannya menjadi inspirasi banyak orang. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement