Senin 01 Mar 2021 17:00 WIB

Inflasi Februari Turun, Pemerintah: Sesuai Pola

Pemerintah harus memperhatikan tiga hal dalam mengawal laju inflasi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Penjual menata cabai rawit di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (5/1). Laju inflasi nasional sepanjang Februari 2021 tercatat sebesar 0,10 persen dan dinilai merupakan sesuai pola musiman pada awal tahun.
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Penjual menata cabai rawit di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (5/1). Laju inflasi nasional sepanjang Februari 2021 tercatat sebesar 0,10 persen dan dinilai merupakan sesuai pola musiman pada awal tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju inflasi nasional sepanjang Februari 2021 tercatat sebesar 0,10 persen. Terdapat penurunan dari bulan sebelumnya yang mencapai 0,26 persen maupun bulan yang sama tahun lalu sebesar 0,28 persen.

Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, penurunan inflasi tersebut merupakan sesuai pola musiman pada awal tahun. Meski menurun, ia menilai permintaan domestik masih mengalami kenaikan.

Baca Juga

"Ada inflasi inti sebesar 0,11 persen, artinya itu menunjukkan permintaan domestik masih meningkat," kata Iskandar kepada Republika.co.id, Senin (1/3).

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, data inflasi tersebut menunjukkan masih adanya permintaan. Namun, permintaan ini melambat dari bulan sebelumnya.

Menurut dia, terdapat tiga hal yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam mengawal laju inflasi. Pertama, mengenai harga pangan khususnya komoditas cabai yang memicu inflasi.

"Ini harus menjadi perhatian karena diperkirakan La Nina akan terjadi sampai awal April. Jadi pemerintah perlu pantau terus ketersediaan cabai karena dia komponen strategis," kata Yusuf.

Kedua, terkait inflasi yang ditimbulkan dari konsumsi rokok. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menaikkan cukai rokok yang mengakibatkan adanya kenaikan harga.

Yusuf mengatakan, proporsi inflasi dari perokok memang relatif kecil. Namun, itu tetap menjadi penting lantaran banyaknya masyarakat menengah ke bawah yang menjadi perokok aktif.

"Ini perlu semacam mitigasi awal jika berdampak ke daya beli. Karena suka tidak suka, konsumsi rokok relatif besar," kata dia.

Adapun catatan ketiga, Yusuf mengatakan, inflasi keseluruhan masih mencerminkan adanya permintaan barang dan jasa. Namun, dibanding tahun lalu, angka-angka saat ini sangat rendah.

Yusuf mengatakan, untuk dapat meningkatkan kembali permintaan masyarakat akan sangat bergantung pada proses pemulihan ekonomi yang terjadi. Selain itu, bantuan-bantuan tunai dari pemerintah yang akan diputuskan untuk diberikan ke masyarakat juga berpengaruh.

"Lagi-lagi bantuan pemerintah seperti bantuan sosial, bantuan langsung tunai, dan kalau dilanjutkan dengan Kartu Pra Kerja, itu akan mempengaruhi inflasi ke depan," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement