Sabtu 27 Feb 2021 22:33 WIB

FKUB: Mushala Grand Wisata Bekasi tak Langgar Hukum

FKUB Kabupaten Bekasi terbitkan rekomendasi pendirian mushala

Pembangunan mushala di Jalan Grand Wisata, Kelurahan Lambangjaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang dilakukan Rahman Kholid malah digugat pengembang Cluster Water Garden.
Foto: istimewa
Pembangunan mushala di Jalan Grand Wisata, Kelurahan Lambangjaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang dilakukan Rahman Kholid malah digugat pengembang Cluster Water Garden.

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI— Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menyatakan pembangunan Mushala Al Muhajirin oleh warga Klaster Water Garden Grand Wisata, Desa Lambang Jaya, Tambun Selatan tidak melanggar hukum karena telah memenuhi syarat dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Soal Mushala di Grand Wisata itu, pengembang tidak seharusnya membawa persoalan ini hingga ke ranah hukum, jangan memantik emosi umat," kata Ketua FKUB Kabupaten Bekasi, Athoilah Mursyid, di Cikarang, Sabtu.

Baca Juga

Athoilah mengatakan pembangunan Mushala itu sudah memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2016. Dalam SKB tersebut disebutkan bahwa pendirian rumah ibadah diperlukan rekomendasi FKUB. 

Dia menjelaskan bahwa persyaratan mendapatkan rekomendasi adalah surat permohonan yang melampirkan tanda tangan dan KTP calon pengguna tempat ibadah. Selain itu, melampirkan persetujuan tidak keberatan warga sekitar atas pendirian rumah ibadah di lokasi tersebut.

"Persyaratan ini untuk semua tempat ibadah, tidak hanya mushala atau masjid, tetapi berlaku untuk semua agama. Untuk warga Klaster Water Garden itu, persyaratannya sudah sesuai. Sudah ada persetujuan juga dari warga sekitar, bahkan dari yang non-Muslim juga," ucapnya.

Anggota Dewan Pembina Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bekasi itu mengatakan bahwa gugatan PT Putra Alvita Pratama (PAP) kepada warga lantaran membangun mushala seharusnya tidak terjadi. Masalahnya, lahan untuk mendirikan mushala sudah menjadi milik warga.

"Seharusnya pengembang tidak ada kewenangan. Masalahnya ini'kan tanah warga. Paling tidak jangan sampai ada yang keberatan terkait dengan masalah pendirian rumah ibadah," katanya.

Athoilah mengingatkan pengembang agar tidak memantik persoalan baru terlebih soal agama yang dinilai sensitif. Jangan sampai ada permasalahan yang dibiarkan berlarut, alangkah baiknya disudahi.

"Nantinya bisa menimbulkan konflik SARA, jangan sampai umat nantinya sampai marah. Pengembang juga, harusnya lebih legawa, jangan kaku dengan hanya mengizinkan lingkungan tersebut untuk pembangunan rumah tinggal saja," katanya.

Sementara itu, pengembang membantah telah melarang warga melakukan ibadah. Pengembang juga mengklaim tidak ada polemik pendirian tempat ibadah di Cluster Water Garden Grand Wisata, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.

Terkait dengan pendirian dan pembangunan rumah ibadah tersebut, Marketing and Public Relation Grand Wisata, Hans Lubis, mengatakan PAP hanya menjalankan perjanjian yang sudah disepakati dengan pemilik kavling.

Dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa tanah itu hanya bisa didirikan bangunan rumah tinggal dan tidak bisa didirikan bangunan lain yang fungsinya bukan rumah tinggal. "Ketentuan tersebut sesuai dengan block plan Cluster Water Garden yang telah disetujui Pemerintah Kabupaten Bekasi," katanya melalui siaran pers.

PAP tidak pernah melarang ataupun melakukan hal yang tidak benar terhadap kebebasan dalam melaksanakan kegiatan ibadah dari agama apa pun yang diakui oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Rahman Kholid yang merupakan tokoh warga Klaster Water Garden sekaligus tergugat menegaskan bahwa pengembang tidak berhak mengatur dan mengintervensi cara beribadah warga.

Rahman mengatakan bahwa PAP maupun Sinarmas Land semestinya konsisten dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Pasal 6 Ayat(6) perjanjian itu menyebut sejak serah terima, segala risiko, beban, dan biaya terkait dengan kepemilikan dan/atau penggunaan tanah beralih kepada pembeli.

Sinarmas maupun pengembangnya juga tidak memiliki alasan yang kuat mengatur peruntukkan dan penggunaan tanah karena sudah menjadi urusan negara. Apalagi, warga sudah mengajukan permohonan perubahan peruntukkan tanah seluas 226 meter persegi itu dari rumah tinggal menjadi rumah ibadah kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi sesuai aturan berlaku.

Atas kondisi ini, warga mempertanyakan misi Sinarmas mengatur peribadatan umat hingga menggugat ke pengadilan. Rahman menegaskan bahwa Sinarmas dan pengembang semestinya fokus membuktikan tuduhan mereka mengenai wanprestasi dan tidak memperuncing konflik dengan warga, apalagi terkait agama.   

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement