Sabtu 27 Feb 2021 14:19 WIB

Usai Pidato Kyaw, Aparat Myanmar Kian Agresif ke Demonstran

Murut saksi mata, polisi menahan orang-orang ketika mereka mulai berkumpul

Rep: Fergi Nadira/ Red: A.Syalaby Ichsan
 Pengunjuk rasa anti-kudeta dan polisi anti huru hara berhadapan di Mandalay, Myanmar, Rabu, 24 Februari 2021. Para pengunjuk rasa yang menentang perebutan kekuasaan militer di Myanmar kembali ke jalan-jalan kota pada Rabu, beberapa hari setelah pemogokan umum menutup toko-toko dan membawa banyak orang untuk didemonstrasikan.
Foto: AP Photo/STR
Pengunjuk rasa anti-kudeta dan polisi anti huru hara berhadapan di Mandalay, Myanmar, Rabu, 24 Februari 2021. Para pengunjuk rasa yang menentang perebutan kekuasaan militer di Myanmar kembali ke jalan-jalan kota pada Rabu, beberapa hari setelah pemogokan umum menutup toko-toko dan membawa banyak orang untuk didemonstrasikan.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON - Aparat Myanmar kian agresif untuk mencegah penentang kekuasaan militer dalam menggelar aksi unjuk rasa, Sabtu (27/2) waktu setempat. Langkah aparat dilakukan setelah utusan Myanmar untuk PBB mendesak PBB untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk menghentikan kudeta 1 Februari.

 

Pada Sabtu, lebih banyak aksi unjuk rasa direncanakan, tetapi aparat kepolisian sudah turun pada pagi hari di kota utama Yangon dan tempat lain. Aparat dikerahkan dalam jumlah banyak di tempat-tempat para pengunjuk rasa biasa melakukan aksi.

Menurut saksi mata, polisi menahan orang-orang ketika mereka mulai berkumpul. Sekurangnya dua pekerja media telah ditahan. "Mereka juga datang untuk menangkap saya tapi saya kabur," kata pekerja media lain yang menolak disebutkan namanya.

Tindakan polisi itu terjadi sehari setelah polisi membubarkan protes di Yangon, kota kedua Mandalay, Naypyitaw dan kota-kota lain yang dihujani peluru karet, granat kejut dan tembakan ke udara. Beberapa orang pun dikabarkan terluka.

Pada Sidang Umum PBB, Duta Besar Myanmar Kyaw Moe Tun mengatakan dia berbicara atas nama pemerintah Aung San Suu Kyi. Dia mengimbau PBB untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk mengambil tindakan terhadap militer Myanmar dan untuk memberikan keselamatan dan keamanan bagi rakyat.

"Kami membutuhkan tindakan lebih lanjut yang sekuat mungkin dari komunitas internasional untuk segera mengakhiri kudeta militer, untuk berhenti menindas orang-orang yang tidak bersalah dan untuk memulihkan demokrasi," katanya kepada 193 anggota PBB dan menerima tepuk tangan setelah dia selesai berbicara.

Kyaw Moe Tun tampak emosional saat membaca pernyataan atas nama sekelompok politisi terpilih yang katanya mewakili pemerintah yang sah. Menyampaikan kata-kata terakhirnya dalam bahasa Burma, diplomat karir itu memberi hormat tiga jari kepada para pengunjuk rasa pro-demokrasi dan mengumumkan "tujuan kami akan menang".

Para penentang kudeta memuji Kyaw Moe Tun sebagai pahlawan dan membanjiri media sosial dengan pesan terima kasih. "Rakyat akan menang dan junta yang terobsesi dengan kekuasaan akan jatuh," tulis salah satu pemimpin protes, Ei Thinzar Maung, di Facebook.

Utusan khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberikan sinyal yang jelas dalam mendukung demokrasi. Dia mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa tidak ada negara yang harus mengakui atau melegitimasi junta.

Utusan Cina di PBB tidak mengkritik kudeta tersebut dan mengatakan situasinya adalah urusan dalam negeri Myanmar. Cina mengatakan hal itu mendukung diplomasi oleh negara-negara Asia Tenggara, yang dikhawatirkan para pengunjuk rasa dapat memberikan kredibilitas kepada para jenderal yang berkuasa.

Singapura mengatakan kekerasan terhadap warga sipil tak bersenjata tidak bisa dimaafkan. Sementara masalah pemilu di Myanmar merupakan inti dari upaya diplomatik oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), di mana Myanmar adalah salah satu anggotanya.  

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi melakukan lobi ke berbagai negara, terutama di Asia Tenggara, untuk ikut menyelesaikan krisis politik di Myanmar. Upaya terkini, ia telah menemui menlu Myanmar untuk menyampaikan sikap Indonesia dan meminta suara warga Myanmar didengarkan. Namun demikian, penentang kudeta khawatir upaya tersebut dapat melegitimasi junta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement