Kamis 25 Feb 2021 17:25 WIB

Inefisiensi Pascapanen, 2,75 Juta Ton Gabah Hilang per Tahun

Nilai kerugian ekonominya mencapai Rp 15,4 triliun per tahun.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Agus Yulianto
Petani mengangkat padi saat panen raya di Desa Rancaseneng, Pandeglang, Banten.
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Petani mengangkat padi saat panen raya di Desa Rancaseneng, Pandeglang, Banten.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kegiatan produksi beras di Indonesia, dinilai belum cukup efisien dalam hal pascapanen. Itu terlihat dari besarnya volume gabah yang hilang dan menelan nilai yang cukup besar setiap tahunnya.

Pendiri House of Rice, Husein Sawit, dalam sebuah webinar mengatakan, terdapat estimasi kehilangan hasil pada proses produksi beras. Pada tahap pengeringan, kehilangan diperkirakan 3,27 persen atau sekitar 947,7 ribu ton gabah kering giling (GKG) per tahun.

Selanjutnya di tahap penggilingan sebesar 3,25 persen atau 942,9 ribu ton GKG serta tingkat rendemen susut sebesar 2,98 persen atau sekitar 863 ribu ton per tahun. Jika ditotal, kehilangan potensi GKG tiap tahun sebanyak 2,75 juta ton setiap tahunnya.

"Nilai kerugian ekonominya itu mencapai Rp 15,4 triliun per tahun. Ini rata-rata tahun 2018-2019," kata Husein, Kamis (25/2).

Husein menambahkan, sumber terbesar kehilangan gabah dan nilai dari proses produksi beras yakni penggilingan padi kecil. Sebab, pangsa pasar penggilingan kecil di Indonesia mencapai 80 persen dari total kapasitas giling nasional.

Adapun estimasi volume GKG yang hilang penggilingan kecil diperkirakan mencapai 2,2 juta ton atau setara dengan R p12,32 triliun. “Kalau kita lihat, banyak sekali kerugian ekonomi yang timbul jika kita tidak mengelola dengan baik proses pascapanen padi,” tuturnya.

Husein mengatakan, inefisiensi yang terjadi dalam perberasan yakni pada aktivitas pemasaran beras yang meliputi indeks pengeringan, transportasi, penggilingan, penyimpanan, dan modal kerja berjalan kurang efisien.

Dia memaparkan, hasil penelitian International Rice Research Institute tahun 2016 menunjukkan ada beberapa indeks biaya di Indonesia yang cukup tinggi. Di antarnya indeks biaya pengeringan Indonesia mencapai 161, lebih tinggi dari Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Selain itu indeks yang lebih tinggi dari ketiga negara tersebut yakni transportasi sebesar 577, penyimpanan 104, dan modal kerja 73. "Inilah mana yang harus kita intervensi supaya dia lebih efisien," kata dia.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement