Senin 22 Feb 2021 00:05 WIB

Guru Madrasah Dibekali Pemahaman tentang Islam Wasathiyah

Kiai Ishom mengawali paparannya dengan menjelaskan dua makna wasathiyah.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Fakhruddin
Guru Madrasah Dibekali Pemahaman tentang Islam Wasathiyah (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Guru Madrasah Dibekali Pemahaman tentang Islam Wasathiyah (ilustrasi).

IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama (Kemenag) melakukan penguatan moderasi beragama di lingkungan madrasah. Sebagai salah satu upaya yang dilakukan, Kemenag berusaha membekali para guru tentang  “Wasathiyah dalam Perspektif Fikih dan Ushul Fikih”.

Materi ini disampaikan KH Ahmad Ishomuddin dari PBNU, dalam Workshop Pengembangan Kompetensi Guru Fikih Madrasah Aliyah/Madrasah Aliyah Keagamaan (MA/MAK).

Kegiatan ini berlangsung tiga hari, yakni 18-20 Februari di Tangerang. Kiai Ishom mengawali paparannya dengan menjelaskan dua makna wasathiyah.

"Pertama, wasathiyyat al-ummah (moderasi bagi umat) yang mengandung arti keadilan, kebaikan dan integritas. Ketiganya adalah hal yang pantas bagi umat Islam dan menjadikannya layak menjadi saksi bagi alam semesta," kata dia dalam dikutip di laman resmi Kemenag, Ahad (21/2).

 

Kedua, wasathiyyat al-fardi (moderasi bagi individu) yang mengandung makna bersikap sedang dalam setiap urusan dengan cara memilih yang paling utama, terbaik, dan yang lebih adil.

Dari dua pengertian ini, Al-wasathiyyah berarti sifat baik dan sifat utama. Ia menyebut, setiap sifat “tengah-tengah” selalu dibersamai oleh kebaikan sehingga menjadi sesuatu yang utama.

Penjeladan tentang washatiyah terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 143. Dalam Tafsir al-Mawardi karya al-Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (364 H - 450 H), diterangkan ayat tersebut menjelaskan tentang ummatan wasathan.

Di dalamnya, ummatan washatan ini terdapat tiga penafsiran. Pertama, umat pilihan. Kedua, dari al-tawassuth (bersikap sedang) dalam semua urusan. Sebab, kaum muslim bersikap menengah dalam agama, sehingga mereka tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula kurang.

Ketiga, yang dimaksud dengan al-tawassuth adalah bersikap adil, karena adil berada di tengah antara lebih dan kurang.

Rois Syuriah PBNU ini lalu menjelaskan wasathiyah dalam ushul fikih. Mengutip pendapat ulama kontemporer, Abdullah Bin Bayyah, dalam kitab Khithab al-Amni fi al-Islam wa Tsaqafah al-Tasamuh wa al-Wi'am ia menerangkan wasathiyah berarti berada dalam posisi moderat (tengah), tidak ekstrim kanan (radikal) atau kiri (liberal). Hal ini seperti yang pernah disampaikan al-Tabi’i al-Jalil al-Hasan al-Bashri.

Hal senada juga dijelaskan Ibnu ‘Ibad al-Nafzi. Beliau berkata, “Berada di jalan syariat adalah hal terberat untuk dilakukan, karena berarti harus selalu bersikap adil dan berada di tengah-tengah (moderat) dalam segala hal. Padahal secara naluri, nafsu seseorang condong kepada salah satu sisi".

Menurut Kiai Ishom, Islam sebagai agama yang memiliki misi untuk menegakkan keadilan, juga membawa misi untuk mewujudkan keselamatan. Tidak diragukan, Islam menjadikan relasi seluruh manusia ditegakkan atas dasar cinta dan kasih sayang, baik hubungan antar individu, kerabat, keluarga, antar komunitas, maupun antar bangsa/Negara.

Relasi demikian ini menjadi fondasi bagi persaudaraan yang bersifat kemanusiaan (al-ukhuwwah al-insaniyyah) yang menjadi sifat utama dari orang-orang yang beriman. Rasulullah bersabda, "Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu semua hingga kamu mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri." (HR. al-Bukhari)

Sebagai umat Islam yang wasatha, Kiai Ishom mengajak para guru madrasah untuk menolak segala bentuk ekstremisme. Guru madrasah juga harus aktif dalam setiap upaya pencegahan tindak ekstremisme dan terorisme.

"Keduanya tidak sejalan dengan sikap moderat (tawassut) dalam beragama dan bernegara. Keduanya juga sangat merusak citra Islam dan merendahkan kehormatan umat Islam," lanjutnya.

Bahkan, Kiai Ishom mengatakan ektrimisme dan terorisme berentangan secara diametral dengan tujuan syariat. Ia mengingatkan agar citra Islam dan kaum muslim harus dijaga dan diperindah.

Agama tidak boleh memprovokasi peperangan, pertumpahan darah, saling permusuhan, sikap kebencian, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan. Realitas tragis ini, di mata Kiai Ishom, merupakan penyimpangan dari ajaran agama.

Menurut Kiai Ishom, hal-hal tersebut adalah hasil dari manipulasi politik agama-agama dan penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama, yang dalam perjalanan sejarah telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen keagamaan di hati para perempuan dan lelaki.

Hal ini membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama. Cara-cara ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi dan kepicikan.

"Agama tidak untuk menghasut orang kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme, dan fanatisme buta," kata Kiai Ishom.

Terakhir, ia berpesan setiap kaum Muslim wajib menahan diri dari menggunakan nama Allah, atau atas nama agama, untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, diskriminasi, intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan penindasan. Sebab, semua itu, bertentangan dengan wasathiyat al-Islam atau moderasi dalam Islam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement