Sabtu 20 Feb 2021 16:06 WIB

Klaim Kebebasan Beragama dan Perang Berdarah di Prancis

Prancis memiliki sejarah berdarah tentang kebebasan beragama

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Prancis memiliki sejarah berdarah tentang kebebasan beragama. Ilustrasi sudut kota di Prancis
Foto: EPA
Prancis memiliki sejarah berdarah tentang kebebasan beragama. Ilustrasi sudut kota di Prancis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Eropa sering dianggap sebagai rumah dari kebebasan beragama dan etnis. Dan Prancis, sering disorot sebagai "negara pencerahan dan kebebasan", dengan Paris sebagai ibu kota. Tetapi ibu kota ini menjadi saksi salah satu pembantaian terbesar dalam sejarah.

Pembantaian ini bukan terhadap penentang agama atau ras, tetapi justru terhadap sekte Kristen lainnya, yaitu Huguenot Protestan. Pada 1509, seorang teolog bernama John Calvin lahir di Prancis. Calvin dianggap sebagai penerus absolut Martin Luther untuk era reformasi agama "Protestan" di Eropa.

Baca Juga

Calvin memiliki pengaruh yang kuat pada doktrin dan ide fundamental Protestanisme. Dia menjadi tokoh terpenting dari generasi kedua Reformasi Protestan. Sepanjang abad ke-16 dan 17, kaum Huguenot Protestan di Prancis memeluk ajaran teolog John Calvin, karena pendekatan Calvin memiliki daya tarik bagi pelajar Prancis.

Di antara para pengikutnya terdapat beberapa elite Prancis paling bergengsi di Prancis yang mayoritas beragama Katolik, bersama dengan banyak pedagang dan perwira militer terkemuka. Karena pengaruh pengikut Calvinisme di kalangan penguasa, mereka pun pada awalnya ditoleransi oleh Kerajaan Katolik Prancis.

Pada 1555, gereja pertama Calvinis Huguenots (berafiliasi dengan John Calvin) didirikan di sebuah rumah pribadi di Paris. Dan pada 1562, terdapat dua juta Huguenot di Prancis dengan lebih dari 2.000 gereja. Tahun ini pun Dekrit Saint-Germain mengakui hak kaum Huguenot untuk mempraktikkan ritual keagamaan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement