Jumat 19 Feb 2021 11:15 WIB

Oposisi Myanmar Sambut Baik Sanksi Kanada dan Inggris

Aktivis mendukung Inggris membekukan aset tiga jenderal Myanmar

Rep: Lintar Satria/ Red: A.Syalaby Ichsan
Demonstran berkumpul di persimpangan dekat Pagoda Sule untuk memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar Rabu, 17 Februari 2021. Demonstran di Myanmar berkumpul Rabu dalam jumlah terbesar sejauh ini untuk memprotes perebutan kekuasaan militer, sebagai manusia PBB Pakar hak asasi memperingatkan bahwa pasukan yang dibawa ke Yangon dan tempat lain dapat menandakan kemungkinan terjadinya kekerasan besar.
Foto: AP/AP
Demonstran berkumpul di persimpangan dekat Pagoda Sule untuk memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar Rabu, 17 Februari 2021. Demonstran di Myanmar berkumpul Rabu dalam jumlah terbesar sejauh ini untuk memprotes perebutan kekuasaan militer, sebagai manusia PBB Pakar hak asasi memperingatkan bahwa pasukan yang dibawa ke Yangon dan tempat lain dapat menandakan kemungkinan terjadinya kekerasan besar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON--Masyarakat yang menentang kudeta militer Myanmar menyambut baik sanksi Inggris dan Kanada. Pengunjuk rasa juga bersiap turun ke jalan yang rutin dilakukan setiap hari dalam dua pekan terakhir.

Jepang juga mengatakan sepakat dengan India, Amerika Serikat (AS) dan Australia mengenai pemulihan demokrasi di Myanmar. Setelah militer menggulingkan pemerintahan sah peraih Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi yang kini masih ditahan.

Aktivis Thinzar Shunlei Yi mendukung Inggris membekukan aset dan melarang masuk tiga orang jenderal Myanmar serta menghentikan semua bantuan ke militer negara Asia Tenggara tersebut. Inggris juga melarang pengusaha mereka bekerja sama dengan Angkatan bersenjata Mynamar. Kanada mengatakan mengambil tindakan terhadap sembilan pejabat militer Myanmar.

"Kami mendesak negara lagi mengkoordinasikan dan menyatukan respon, kami menunggu Uni Eropa mengumumkan sanksi pada 22 Februari," kata Yi di Twitter, Jumat (19/2).

Ia mengajak masyarakat Myanmar berkumpul di depan kantor Uni Eropa untuk mendesak blok itu mengambil tindakan terhadap bisnis militer. Junta Myanmar belum memberikan reaksi atas sanksi-sanksi terbaru. Kamis (18/2) juru bicara Angkatan Bersenjata Myanmar mengatakan mereka sudah memperkirakan sanksi-sanksi tersebut.

Dalam sejarahnya jenderal-jenderal Myanmar tidak peduli dengan tekanan dari negara asing. Mereka juga dekat dengan Cina dan Rusia yang lebih lunak dibandingkan negara-negara Barat. Negara-negara Barat sudah memberikan sanksi pada Ketua Junta Militer Min Aung Hlaing atas penindakan keras terhadap masyarakat minoritas muslim Rohingya 2017 lalu.

"Memberikan sanksi pada pemimpin militer lebih bertindak simbolis, tapi langkah menerapkan sanksi pada perusahaan-perusahaan militer lebih efektif," kata Direktur Burma Campaign UK, Mark Farmaner.

Baca juga : Ternyata Orang Terkaya Indonesia: Isa Rachmatarwata

Setelah berkuasa selama hampir setengah abad di negara dengan populasi 53 juta orang itu militer Myanmar memiliki banyak bisnis di berbagai bidang mulai dari perbankan, bir, telekomunikasi hingga transportasi. Pada 1 Februari lalu Angkatan Bersenjata Myanmar merebut kekuasaan dengan paksa.

Alasannya pemilihan umum yang dimenangkan partai Suu Kyi, National League for Democracy (NLD) pada 8 November 2020 lalu diwarnai dengan kecurangan. Kudeta ini menghentikan proses transisi demokrasi yang dimulai pada tahun 2011 lalu. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement