Jumat 19 Feb 2021 10:09 WIB

Oposisi Sambut Sanksi Inggris dan Kanada ke Militer Myanmar

Inggris melarang pengusaha mereka bekerja sama dengan Angkatan bersenjata Myanmar.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Demonstran berkumpul di persimpangan dekat Pagoda Sule untuk memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu, 17 Februari 2021. Pakar PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar memperingatkan prospek kekerasan besar ketika demonstran berkumpul lagi Rabu untuk memprotes perebutan kekuasaan oleh militer.
Foto: AP/STR
Demonstran berkumpul di persimpangan dekat Pagoda Sule untuk memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu, 17 Februari 2021. Pakar PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar memperingatkan prospek kekerasan besar ketika demonstran berkumpul lagi Rabu untuk memprotes perebutan kekuasaan oleh militer.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Masyarakat yang menentang kudeta militer Myanmar menyambut baik sanksi Inggris dan Kanada. Pengunjuk rasa juga bersiap terus turun ke jalan yang rutin dilakukan setiap hari dalam dua pekan terakhir.

Aktivis Thinzar Shunlei Yi mendukung Inggris membekukan aset dan melarang masuk tiga orang jenderal Myanmar serta menghentikan semua bantuan ke militer negara Asia Tenggara tersebut. Inggris juga melarang pengusaha mereka bekerja sama dengan Angkatan bersenjata Mynamar. Kanada mengatakan mengambil tindakan terhadap sembilan pejabat militer Myanmar.

Baca Juga

"Kami mendesak negara lagi mengkoodinasikan dan menyatukan respon, kami menunggu Uni Eropa mengumumkan sanksi pada 22 Februari," kata Yi di Twitter, Jumat (19/2).

Ia mengajak masyarakat Myanmar berkumpul di depan kantor Uni Eropa untuk mendesak blok itu mengambil tindakan terhadap bisnis militer. Junta Myanmar belum memberikan reaksi atas sanksi-sanksi terbaru. Pada Kamis (18/2) juru bicara Angkatan Bersenjata Myanmar mengatakan mereka sudah memperkirakan sanksi-sanksi tersebut.

Dalam sejarahnya jenderal-jenderal Myanmar tidak peduli dengan tekanan dari negara asing. Mereka juga dekat dengan China dan Rusia yang lebih lunak dibandingkan negara-negara Barat. Negara-negara Barat sudah memberikan sanksi pada Ketua Junta Militer Min Aung Hlaing atas penindakan keras terhadap masyarakat minoritas muslim Rohingya 2017 lalu.

"Memberikan sanksi pada pemimpin militer lebih bertindak simbolis, tapi langkah menerapkan sanksi pada perusahaan-perusahaan militer lebih efektif," kata Direktur Burma Campaign UK, Mark Farmaner.

Baca juga : Jubir: Laporan Keuangan Proyek Din Bentuk Akuntabilitas

Setelah berkuasa selama hampir setengah abad di negara dengan populasi 53 juta orang itu militer Myanmar memiliki banyak bisnis di berbagai bidang mulai dari perbankan, bir, telekomunikasi hingga transportasi. Pada 1 Februari lalu Angkatan Bersenjata Myanmar merebut kekuasaan dengan paksa.

Alasannya pemilihan umum yang dimenangkan partai Suu Kyi, National League for Democracy (NLD) pada 8 November 2020 lalu diwarnai dengan kecurangan. Kudeta ini menghentikan proses transisi demokrasi yang dimulai pada tahun 2011 lalu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement