Jumat 19 Feb 2021 09:13 WIB

ARDY Laporkan Sultan ke Komnas HAM

Dalam Pergub ada lima kawasan yang dilarang sebagai tempat mengemukakan pendapat.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Foto: ANTARA /Hafidz Mubarak A
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) melaporkan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pelaporan ini dilakukan karena diterbitkannya Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka.

ADRY beranggotakan 78 lembaga nonpemerintah dan individu prodemokrasi. Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli mengatakan, Pergub tersebut berpotensi melanggar HAM. Terutama, katanya, melanggar hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Laporan ini disampaikan dengan mengirimkan surat bermaterai melalui Kantor Pos Besar Yogyakarta ke Komnas HAM. Pelaporan ini dilakukan pada Selasa (16/2) kemarin.

"Jaringan masyarakat sipil melaporkan Gubernur DIY kepada Komnas HAM karena menerbitkan peraturan gubernur yang berisi larangan unjuk rasa di kawasan Malioboro," kata Yogi kepada Republika, Kamis (18/2).

Yogi menyebut ada empat hal yang melanggar HAM dalam Pergub yang diterbitkan pada awal Januari 2021 tersebut. Pertama, kata Yogi, tentang pembatasan kawasan penyampaian pendapat di muka umum.

Dalam Pergub tersebut ada lima kawasan yang dilarang sebagai tempat mengemukakan pendapat. Mulai dari Istana Negara Gedung Agung, Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Keraton Kadipaten Pakualaman, Kotagede, dan Malioboro.

Yogi menuturkan, Pergub ini mengacu pada Keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 tentang Penetapan Obyek Vital Nasional Di Sektor Pariwisata. Hal ini, katanya, dijadikan kedok untuk membatasi masyarakat dalam mengemukakan pendapat.

"Kawasan terlarang untuk demonstrasi tersebut selama ini menjadi tempat untuk masyarakat sipil menyuarakan pendapat dan kritik terhadap pemerintah. Pergub tersebut menghambat setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya di ruang publik," ujarnya.

Sehingga, aturan ini dinilai bertentangan dengan norma-norma HAM. Padahal, kata Yogi, setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan maupun tulisan.

Kedua, pihaknya menyoroti terkait pembatasan waktu penyampaian di muka umum. Pada pasal 6 Pergub tersebut, penyampaian pendapat di muka umum berlangsung di ruang terbuka untuk umum dilaksanakan dalam kurun waktu pukul 06.00 sampai dengan 18.00 WIB.

Ketiga terkait penggunaan pengeras suara, yang mana dalam Pergub mewajibkan setiap orang menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Keempat terkait pelibatan TNI dalam urusan sipil.

"Pergub itu mendorong tentara keluar dari barak untuk terlibat dalam urusan sipil. Dalam pergub tersebut, TNI ikut serta dalam wilayah koordinasi sebelum, saat dan setelah pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum," jelas Yogi.

Yogi menegaskan, pelibatan TNI dalam lingkungan sipil sudah dihapuskan. TNI hanya dilibatkan dalam pertahanan dan tidak terlibat dalam urusan sosial politik.

"Celakanya, Pergub itu dibuat secara serampangan untuk menghidupkan kembali militerisme dengan memperluas kewenangan TNI. ARDY menilai isi Pergub bertentangan dengan norma-norma HAM yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM," katanya.

Untuk itu, pihaknya meminta Komnas HAM untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Selain itu, ADRY juga telah melaporkan kepada Kantor Perwakilan Ombudsman DIY pada 27 Januari lalu.

Pelaporan ke Ombudsman ini dilakukan setelah sebelumnya dilayangkan somasi terbuka secara langsung kepada Sultan terkait terbitnya Pergub Nomor 1 Tahun 2021 tersebut. Namun, tidak tidak ada balasan yang diterima ARDY dari Sultan.

Melalui somasi tersebut, ARDY mendesak Sultan untuk mencabut dan membatalkan segera Pergub itu. Selain itu, ARDY meminta menghentikan segala upaya pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi.

"Namun, pada hari ketujuh atau batas akhir desakan yang kami minta tidak terdengar kabar pergub dicabut. Sehubungan dengan itu, seperti yang sudah tersampaikan dalam surat somasi sebelumnya, kami resmi melaporkan Gubernur DIY," ujar Yogi menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement