Rabu 17 Feb 2021 10:33 WIB
...

Darurat Militer Aceh, 'Diculik Jenderal'

Suasana Aceh saat itu tak kondusif dan semakin tak aman bagi keselamatan wartawan.

Wartawan Republika Rusdy Nurdiansyah Bersama Komandan Kopassus TNI AD, Mayjen Sriyanto diatas kapal perang AL menuju Sabang mengikuti kunjungan kerja Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu pada Mei 2003.
Foto:

Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika

***

Suasana pagi, di depan markas Koops TNI Lhokseumawe, 19 Mei 2003, pukul 08.00 WIB. Wakil Pangkoops Brigjen Bambang Darmono memberi briefing ke para wartawan 'binaannya'. Sedangkan aku, Husni, dan Bang Ersa serta teman wartawan lainnya asyik menikmati sarapan sambil ngegosip dan 'tertawa kecil' melihat para wartawan rombongan TNI berbaris dengan seragam militer.

Usai briefing, Brigjen Bambang Darmono dengan kesal menghampiri kami. "Sudah ada mandat, secepatnya TNI akan tumpas GAM. Targetnya, satu anggota TNI untuk 10 anggota GAM," tegasnya.

"Nggak mudah, saya nggak yakin komandan. Mungkin yang terjadi sebaliknya," ujar Bang Ersa menjawab berseloroh.

Kemudian, Brigjen Bambang Darmono meminta kami mengurus izin meliput operasi militer ke Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) yang ada di Banda Aceh. Aku menghampiri rekan Amin dan Akbar, memberitahu sebaiknya tidak menggunakan rompi militer saat meliput karena berbahaya dan berpotensi menjadi sasaran tembak GAM.

Aku dan Amin juga berdiskusi untuk berbagi tugas, karena informasinya akan ada pendaratan pasukan tank amfibi Marinir di Pantai Samalanga dan kedatangan pasukan Marinir di Pelabuhan Krueng Geukue. Aku memilih ke Pantai Samalanga.

Hanya tujuh jam setelah diumumkannya status DM Aceh, dua batalyon Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) langsung didaratkan lewat udara dan laut sebagai pembuka operasi terpadu di Aceh. Sebanyak 468 personel Batalyon Infanteri Lintas Udara 502 Kostrad diterjunkan dengan enam pesawat Hercules dan mendarat di Pangkalan Udara TNI AU (Lanud) Malikus Saleh Lhokseumawe dan Lanud Iskandar Muda Blang Bintang Banda Aceh. Lalu, satu Batalyon Tim Pendarat-1 Amfibi Marinir asal Surabaya, Jawa Timur, mendarat di Pantai Samalanga, Bireuen.

Aku dan beberapa fotografer tiba di Pantai Samalanga. Tampak puluhan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD sedang menyisir kampung untuk mengamankan pantai. Dari kejauhan 2,5 mil dari lepas pantai, tampak puluhan tank amfibi Marinir menuju pantai diikuti pendaratan ratusan prajurit Marinir dengan perahu karet.

Tak menyia-nyiakan momen, aku langsung membidikkan kamera ke tank-tank amfibi yang hendak mendarat dan pasukan Kopassus yang mengamankan pantai. Tiba-tiba seorang prajurit Kopassus menyapa aku. "Abang wartawan Republika ya," tanyanya.

"Iya," jawabku. "Kita pernah kenal dimana," tanyaku.

"Aku adiknya Pak Wahyu, teman abang di Republika," jawabnya. "Abang aman, saya jagain," lanjut prajurit Kopassus yang memperkenalkan diri berama Bayu.

Pak Wahyu merupakan ajudan Dirut Republika, Erick Thohir.

Aku kemudian melanjutkan memotret momen-momen menarik, saat gelombang kedua pendaratan puluhan tank amfibi keluar dari lambung tiga kapal perang, KRI Teluk Langsa, KRI Teluk Ende, dan KRI Teluk Sampit. Tank-tank amfibi tersebut mendapat kawalan ketat ratusan pasukan Marinir di sekoci dan perahu karet.

Bidikan kamera terfokus ke dua amfibi dan satu perahu karet yang terbalik dihantam gelombang laut yang tiba-tiba meninggi hingga dua meter disertai angin kencang menjelang tiga meter mengapai pantai. Diduga tujuh Marinir tewas dalam kecelakaan tersebut. Sedangkan, pihak Koops TNI menyatakan hanya satu tank dan satu perahu karet yang terbalik. Korban tewas hanya satu prajurit dan satu luka-luka.

Sebanyak 1.300 marinir dan 30 tank amfibi berhasil mendarat di Pantai Samalanga setelah 11 hari terkatung-katung di tiga kapal perang tanpa kepastian. Jadi tak heran, ribuan parjurit Marinir tersebut terlihat letih dan kumal dengan sebagian berambut gondrong. Selama pendaratan, tidak ada gangguan sedikit pun dan tak ada satu butir peluru GAM pun dilepas.

Selanjutnya, aku dan fotografer lainnya kembali ke hotel untuk mengirimkan hasil foto terbaiknya secepatnya ke kantor masing-masing.

Pihak GAM menginformasikan ke kami, telah terjadi kontak tembak dengan TNI di Matang Kumbang, Peusangan. Sebanyak tujuh anggota TNI tewas dan tujuh lain luka-luka dan dua anggota GAM tewas. Baku tembak ini tercatat paling banyak menelan korban di pihak TNI/Polri sejak diberlakukan DM Aceh.

 

photo
Tentara GAM - (Istimewa.)
 

 

Informasi yang kami peroleh dari pihak GAM dan lalu menjadi berita membuat Brigjen Bambang Darmono geram. Letkol Ahmad Yani diperintahkan memanggil Bang Ersa, aku, dan puluhan wartawan yang ada di Hotel Vina Vira untuk menghadap.

"Kami harap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Dilarang mengutip dari sumber GAM dan kami siapkan siaran pers setiap harinya. Kalau kami terkesan keras, harap dimaklumi, karena ini sudah aturan darurat militer. Tidak ada pertanyaan," tegas Brigjen Bambang Darmono kepada kami.

"Ternyata nggak mudah ya komandan," celetuk Bang Ersa.

Esoknya, aku dan Husni beserta beberapa wartawan bertolak ke Banda Aceh untuk mengurus izin ke PDMD. Beberapa wartawan asing dari Australia, Jepang, dan Korea juga ikut mengurus izin. Setelah mendapatkan izin, kami kembali ke Lhokseumawe, ikut serta dalam rombongan mobil, wartawan Australia, John Oshea, yang khusus meliput embedded journalist.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement