Rabu 17 Feb 2021 03:13 WIB

Kantong Layanan Pesan Antar Makanan dan Konflik Elite

Orang yang sesungguhnya memiliki posisi setara seringkali dihadap-hadapkan

Pengemudi ojek menunjukan pesanan belanja daring (foto ilustrasi)
Foto: ANTARA/M Agung Rajasa
Pengemudi ojek menunjukan pesanan belanja daring (foto ilustrasi)

Oleh : Ratna Puspita*

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa malam lalu, saya naik layanan kendaraan yang dipesan melalui aplikasi mobile phone. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB sehingga saya perkirakan butuh waktu satu jam untuk sampai rumah saya di Jakarta Utara dari Bekasi, Jawa Barat.

Ketika saya naik kendaraan itu, sang sopir memulai percakapan dengan bertanya: "mau lewat tol atau jalan biasa?" Saya jawab, "terserah aja, pak."

Sang sopir kemudian bertanya soal kemungkinan banjir dan saya jawab daerah rumah saya bebas banjir, tetapi tidak tahu jalan menujunya. Pertanyaan itu karena Bekasi diguyur hujan turun deras malam itu.

Dalam perjalanan, saya sebenarnya agak mengantuk. Tapi, saya urungkan niat untuk tidur di mobil karena sang sopir mengajak saya bicara. Pembicaraannya cukup menarik. Sang sopir awalnya bicara soal kehidupan selama pandemi yang sulit.  Kesulitan bagi sopir layanan kendaraan online ini mulai dari order yang berkurang, dan tidak ada bonus selama pandemi sehingga banyak sopir menolak order jarak dekat.

Kami sesekali bicara juga soal layanan kendaraan online yang kadang diwarnai konflik antara sopir dan pelanggan. Namun, sang sopir tidak tertarik dengan topik tersebut. Dia menyebut konflik antara sopir dan pelanggan adalah ciptaan perusahaan yang sebenarnya mengambil untung lebih banyak dibandingkan keuntungan yang diterima sopir. Dia mengilustrasikan potongan-potongan yang diterima dalam satu kali order untuk menjelaskan bahwa dalam relasi sopir dan platform ada ketimpangan.

Dengan ketimpangan keuntungan itu, dia mengatakan, hubungan antara sopir dan platform tidak layak lagi disebut sebagai mitra. Sebab, mitra adalah hubungan yang setara.

Dengan keuntungan itu pula, perusahaan seharusnya punya tanggung jawab lebih banyak kepada sopir. Apalagi, dia bercerita, pada masa pandemi seperti ini.

Saya teringat cerita sopir ini ketika pagi ini melihat video seorang perempuan sopir kendaraan online yang khusus mengambil layanan antarmakanan. Dalam video yang diunggah ke Tiktok dan viral di Twitter, dia mengungkapkan harapannya agar restoran menyediakan kantong bukan plastik untuk memudahkan sopir atau driver membawa makanan yang dipesan oleh pelanggan.

Harga kantong dapat dibebankan kepada pelanggan. Saran perempuan driver layanan antarmakanan ini cukup masuk akal. Saya ingat sebuah jaringan kedai kopi yang belakangan yang akan menambahkan tas belanja dalam setiap transaksi online.

Komentar-komnetar warganet tentu banyak juga yang menuding si driver tidak banyak akal, dan kurang kreatif. Dalam video lain, dia menjelaskan bahwa sudah menyediakan kantong belanja.

Namun, seringkali, kantong yang dia bawa tidak sesuai dengan spesifikasi makanan. Kendati demikian, penjelasannya tetap membuat banyak orang tidak puas dan menyalahkan si driver.

Dalam konteks inilah, saya mengingat percakapan dengan sopir yang membawa saya pulang bahwa para pemilik kuasa memang kerap menghadap-hadapkan orang yang sesungguhnya memiliki posisi setara.

Kantong belanja ini merupakan kebijakan pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang punya kuasa. Kebijakan ini dipindahkan ke pemilik kuasa lainnya, yakni pengusaha.

Namun, secara praktik layanan antarmakanan, pihak yang disulitkan justru pihak yang mendapatkan keuntungan paling kecil: driver. Driver yang hidup dari penghasilan harian ini juga masih dihujat oleh kelompok lain yang penghasilannya juga bukan di level pemilik modal.

Konflik orang-orang kecil sebenarnya sering kali muncul sebagai ekses dari tindakan-tindakan orang-orang di level elite. Namun, kita sering kali melupakan itu dan lebih sering menyalahkan orang yang sama tidak berdayanya.

Konflik-konflik ini bisa jadi bukan hanya terjadi pada persoalan pelanggan dan driver kendaraan online, melainkan pada ranah lain. Misalnya di politik, orang yang ingin dekat dengan kekuasaan atau mencicipi kekuasaan menciptakan musuh dengan kelompok yang sebenarnya statusnya sama seperti dia: rakyat biasa.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement