Rabu 17 Feb 2021 03:09 WIB

Ekonom: Surplus Perdagangan Pengaruhi Pertumbuhan Kuartal I

Neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2021 surplus sebesar 1,96 miliar dolar AS.

Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai surplus neraca perdagangan Indonesia pada Januari akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,96 miliar dolar AS pada bulan lalu.

“Ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2021,” katanya di Jakarta, Selasa (16/2).

Baca Juga

Hal itu terjadi karena nilai impor pada Januari 2021 turun sebesar 6,49 persen jika dibandingkan Januari 2019 baik untuk barang konsumsi, barang penolong, dan barang modal. Oleh sebab itu, Bhima menuturkan surplus neraca perdagangan akan mempengaruhi investasi khususnya di sektor manufaktur karena penurunan impor bahan baku dan barang modal menandakan permintaan domestik belum pulih.

“Artinya baik investor existing maupun investor baru masih wait and see dulu untuk tambah modalnya di Indonesia,” ujarnya.

 

Meski demikian, ia mengatakan untuk investasi di sektor pertambangan dan perkebunan diperkirakan mulai naik karena adanya rebound harga komoditas unggulan ekspor. “Tapi overall PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) pada kuartal I diperkirakan masih rendah,” katanya.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menyatakan surplus neraca perdagangan akan mempengaruhi kinerja investasi kuartal I yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Ia menjelaskan penurunan impor bahan baku dan bahan modal dapat diartikan saat ini pelaku usaha kembali menahan laju ekspansi produksinya karena ada peluang pemulihan ekonomi di kuartal I berjalan lambat.

Oleh sebab itu, Yusuf memperkirakan pelaku usaha masih akan terus menahan keinginan untuk berinvestasi sehingga selama konsumsi berada dalam pertumbuhan negatif maka kinerja investasi juga masih akan berada di level negatif.

“Ada potensi ke sana karena permintaan juga masih akan masih lebih kecil karena daya beli masih lemah,” jelasnya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement