Selasa 16 Feb 2021 16:05 WIB

Pembangunan Masjid Megah di Jalur Gaza Menuai Kritik

Mayoritas penduduk di jalur Gaza miskin dan membutuhkan pangan dan tempat tinggal

Rep: Mabruroh/ Red: Esthi Maharani
Pelangi muncul diatas sebuah masjid di Beit Lahiya, Gaza    (EPA/Mohammed Saber)
Pelangi muncul diatas sebuah masjid di Beit Lahiya, Gaza (EPA/Mohammed Saber)

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Perusahaan Konstruksi Al-Ahram al-Zahabia mengumumkan di Facebook pada (5/2), akan kembali membangun Masjid Khalil al-Wazir yang rusak dengan anggaran satu juta dolar (Rp 13 miliar). Sontak saja posting tersebut menuai kritik mengingat sebagian besar penduduk di jalur Gaza miskin dan lebih membutuhkan pangan dan tempat tinggal.

Total biaya dalam postingan tersebut telah dihapuskan, namun masyarakat terlanjur mengetahuinya sehingga memicu kontroversi luas di kalangan warga Palestina yang 85 persen penduduknya menderita kemiskinan.

Masjid-masjid di daerah kantong pantai itu telah dihancurkan selama perang Israel pada 2014. Lalu pada 2018, Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Hamas menandatangani perjanjian untuk mendanai pembangunan kembali masjid.

Warga Palestina menyatakan kemarahan dan kritiknya pada Kementerian Wakaf dan Hamas, karena tidak mengarahkan dana untuk proyek pembangunan dan memberi makan masyarakat miskin alih-alih membangun masjid megah.

Menurut statistik Kementerian Wakaf, ada 1.078 masjid di daerah kantong kecil seluas 365 kilometer persegi (227 mil persegi) itu. Membangun masjid mewah di Jalur Gaza telah menjadi tren sejak Hamas mengambil alih pada tahun 2007.

Masjid Al-Khalidi dibangun oleh seorang pengusaha yang memiliki hubungan dengan Hamas, Abdel Aziz al-Khalidi, di pantai Gaza pada tahun 2013 dengan biaya setengahnya.

"Membangun masjid mewah di Jalur Gaza tidak pantas mengingat situasi ekonomi penduduknya," kata Mohammed Abu Jiyab, editor surat kabar Al-Eqtesadia di Gaza, dilansir dari Al-Monitor, pada Selasa (16/2).

Abu Jiyab menekankan agar dana bantuan tersebut dialihkan untuk memerangi kemiskinan dan pengangguran dengan membangun proyek-proyek seperti pabrik. Menurutnya, di Palestina saat ini, sebanyak 46,5 persen warga Palestina menganggur dan 80 persen populasi bergantung pada bantuan pangan.

Pada 2020, kata Abu Jiyab, pendanaan internasional untuk Jalur Gaza menurun hingga 60 persen dan bantuan dari negara-negara kawasan Arab juga turun hingga 80 persen. Karenanya, pembangunan masjid megah dengan biaya besar menurutnya patut dikritisi.

"Membangun masjid dengan biaya tinggi ini mengejutkan, karena ada sekitar 2.700 keluarga Palestina di Gaza yang masih mengungsi sejak rumah mereka hancur dalam perang 2014. Keluarga-keluarga ini tinggal di rumah kontrakan yang dibayar oleh UNRWA," terang Abu Jiyab.

Wakil Menteri dari Kementerian Wakaf di Gaza, Abdel Hadi al-Aghad menyatakan akan meneruskan proyek tersebut. Ia menjelaskan, bahwa di lantai 2 masjid akan dibangun apotik yang dioperasikan oleh Kementerian Kesehatan untuk melayani masyarakat di daerah tersebut. "Akan ada lift untuk menampung orang sakit dan lanjut usia," kata al-Aghad.

Agha mengatakan bahwa Israel menghancurkan 110 masjid di Jalur Gaza selama perang 2014. Kementerian telah membangun kembali 94 masjid dengan dana dari badan amal internasional dan terus mencari pemberi dana untuk membangun kembali 16 masjid lainnya.

Menurutnya, Kementerian Wakaf telah melakukan lebih dari sekadar membangun kembali masjid. Bahkan juga memberikan bantuan makanan hingga uang tunai untuk penduduk miskin.

“Selama tahun 2020, kementerian, melalui sumbangan dari dalam dan luar Jalur Gaza, memberikan sekitar 10,5 juta dolar bantuan makanan dan uang tunai kepada sekitar 490 ribu keluarga Palestina," tambahnya .

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement