Senin 15 Feb 2021 15:48 WIB

Usut Tuntas Propaganda Aisha Weddings

Pernikahan usia 12 sampai sebelum 19 tahun bertolak belakang dengan UU Perkawinan.

Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto:

Penolakan pernikahan anak patut dinilai positif. Tapi saya sudah bertahun-tahun mempertanyakan ketidakhadiran negara untuk menekan fenomena seks di luar pernikahan.

Yang lebih mengemuka justru kesan kuat bahwa seks di luar pernikahan adalah sah-sah saja sepanjang dilakukan atas dasar mau sama mau, tidak membahayakan kesehatan, dan tidak mengakibatkan kehamilan yang tidak dikehendaki. Dengan tiga ciri "seks legal" semacam itu justru semakin marak program kondomisasi, toleransi terhadap 'pasutri' tanpa pernikahan, serta penerimaan terhadap orientasi dan perilaku seks sejenis. Padahal, ketiganya adalah gaya hidup yang jauh Pancasila.

Saya yakin, jumlah anak yang melakukan seks tanpa pernikahan jauh lebih banyak daripada jumlah anak yang menikah pada usia muda. Seks di luar nikah merupakan satu dari sekian banyak faktor pendorong pernikahan anak-anak. Atas dasar itu, tidaklah memadai pernikahan anak-anak disikapi sebagai masalah yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah lain.

Selama negara tidak menekan fenomena seks di luar nikah dan melegalkan seks berdasarkan prinsip konsensual dan tanpa paksaan semata, apalagi jika terjadi kehamilan, saya sama sekali tidak optimistis kampanye mencegah pernikahan anak-anak akan memenuhi harapan kita semua. Bahkan, dalam situasi kadung terjadi kehamilan akibat seks di luar nikah, menikahkan anak-anak justru menjadi jalan keluar yang getir.

Jalan keluar setidaknya agar anak yang dilahirkan memperoleh kejelasan status, mengatasi aib susulan yang bisa dihadapi keluarga, sekaligus mendorong agar anak-anak tersebut bisa tetap bertanggung jawab atas status tambahan mereka selaku orang tua atas bayi hasil seks di luar pernikahan tersebut. Sekaligus, pada titik itu muncul satu lagi panggilan kepada negara: ketika anak-anak terlanjur menikah, apa yang negara lakukan terhadap pasutri berusia anak-anak itu? Tidak boleh tidak; betapa pun mereka sudah menikah, hak-hak mereka selaku anak-anak tetap harus dipenuhi oleh negara.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement