Senin 15 Feb 2021 08:57 WIB

Kisah Kiai Cicit Santri Keraton Yogyakarta dan Brawijaya V

Hikmah keseharian Kiai Kauman, cicit santri Keraton Yogyakarta dan Brawijaya V.

Masjid dan Pesantren  Al-Manshur, Kauman, Wonosobo.
Foto: Idham Cholid
Masjid dan Pesantren Al-Manshur, Kauman, Wonosobo.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Idham Cholid, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jayanusa); Ketua Pembina Gerakan Towel Indonesia

Beberapa hari lalu saya sowan KH Achmad Chaedar Idris, imam besar masjid--juga pengasuh pesantren--Al-Manshur, Kauman, Wonosobo. Sowan kiai tentu bukan tanpa "kepentingan". Setelah sekian lama tak sowan, terus terang, saya sangat berkepentingan. Selain ingin mendapatkan buku karyanya, saya juga akan menanyakan kembali "amalan" yang dulu pernah diijazahkan. Saya pernah setahun nyantri di Al-Manshur semasa sekolah di MAN.

Soal ijazah, itu "hajat" pribadi, tak mungkin saya ceritakan di sini. Tapi, buku karyanya, bagi saya menarik untuk dikaji. 

Masjid Tertua

Kiai Chaedar, demikian Mustasyar PCNU Wonosobo itu biasa disapa. Saya menyebutnya Kiai husnudz-dzon. Bersamanya, tak ada waktu untuk ngrasani siapa pun. Selalu berbaik sangka kepada siapa saja. Apalagi, kalau ngaji, sudah pasti berisi. Kalau ceramah, dalam arti orasi yang berapi-api, beliau memang tak ahli. Tapi, kelebihannya, menulis sangat tertata rapi.

Putra al-maghfurlah simbah Kiai Idris itu sejak umur tiga tahun sudah menetap di Kauman, tentu mengikuti abahnya, Kiai Idris, yang mulai 1960 menjadi Imam Masjid Al-Mansur. Sebelumnya, Kiai Adzkiya' yang berasal dari Banyumas.

Sepeninggal (wafatnya) Kiai Idris pada 1 November 1986, Kiai Chaedar disepakati sebagai pengganti. Santri kinasih simbah KH Ali Ma'shum Krapyak itulah yang sampai saat ini juga mengasuh Pesantren Al-Manshur. Pesantren di bawah Yayasan Masjid Al-Manshur itu kini telah berkembang pesat. Memiliki sekolah formal SMP dan SMA Islam, juga SMK. Dulu, dirintis sejak 1962, hanya berupa asrama, tempat tidur santri yang khusus mengaji.

Ada tradisi unik di masjid Al-Manshur yang sampai hari ini masih terjaga dengan baik, yaitu setonan. Tak lain, pengajian massal yang diselenggarakan setiap Sabtu siang, bakda Zhuhur sampai Ashar. Sudah berjalan puluhan tahun. Saat sebelum pandemi, pengajian seton, demikian masyarakat Wonosobo menyebutnya, selalu ramai pengunjung. Ribuan warga masyarakat dari seluruh penjuru Wonosobo memadati serambi dan halaman masjid Al-Manshur. 

Masjid yang letaknya di tengah kota, sekitar 300 meter dari Pendopo Kabupaten dan Alun-alun Wonosobo arah ke Dieng, itu terbilang masjid tertua di Kabupaten Wonosobo. Dirintis awal pada 1825 oleh KH Raden Manshur. Kiai saudagar inilah yang mewakafkan 7.000 meter lebih tanahnya yang sekarang menjadi bagian penting dari kampung Kauman itu sendiri.

Masjid Al-Manshur berdiri kokoh di lahan itu, juga berbagai sarana pendidikan dan pusat perbelanjaan. Kauman atau Pakauman, dalam sejarahnya, selalu merujuk kepada permukiman di sekitar masjid. Boleh dibilang, kampung "santri". Di Yogyakarta, misalnya, kita mengenal Kauman sebagai kampung di mana Muhammadiyah didirikan. Di mana pun, Kauman dapat dipastikan berada di sekitar masjid yang memiliki kesejarahan. 

Nama Masjid Al-Manshur kemudian dinisbahkan kepada wakif, KH Raden Manshur. Ia tak lain adalah putra Kiai Raden Marhamah. Ada tiga putranya, selain KH Raden Manshur sendiri, juga KH Raden Abdul Fatah dan KH Raden Syukur Sholih. Siapa Kiai Marhamah? Dia adalah putra Kiai Asmorosufi, seorang santri dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, nama aslinya Sutomarto II. Secara genealogis, silsilahnya enam tingkat sampai kepada Brawijaya V.

Sejarahnya, tak lepas dari Perang Diponegoro. Bahwa Sutomarto II, putra dan ketiga cucunya itu, rela meninggalkan Keraton untuk membersamai rakyat, turut memimpin perlawanan melawan kolonialisme, di daerah Magelang dan kemudian ke Wonosobo.

Konon, ada pembagian tugas saat itu. Kiai Manshur ditugaskan ke pusat (yang saat ini menjadi Ibu Kota Wonosobo), Kiai Abdul Fatah di Sigedong (sekarang masuk Desa Tegalgot, Kecamatan Kepil, perbatasan dengan Kabupaten Magelang); sedang Kiai Syukur Sholih di Bendosari, Kecamatan Sapuran. Disinilah, Kiai Asmorosufi dan Kiai Marhamah juga dimakamkan.

Kiai Abdul Fatah tercatat sebagai perintis awal keberadaan pondok pesantren di Wonosobo, tepatnya di Sigedong. Di sini pula Kiai Abdul Fatah dimakamkan. Hampir seluruh kiai di Wonosobo adalah dari jalur Sigedong ini. Sebut saja, antara lain, al-maghfurlah simbah KH Muntaha al-Hafidz (pendiri Unsiq, Kalibeber), alm. KH Moh. Afif, Kiai Nashir Dalhar, juga KH Subromalisi. 

Sedang, dari Kiai Manshur menurunkan, antara lain, mantan Kakankemenag Wonosobo Drs. Syarif Hidayat, yang sekarang menjadi Ketua Yayasan Masjid Al-Manshur. Adapun Kiai Chaedar sendiri adalah keturunan dari Kiai Syukur Sholih.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement