Ahad 14 Feb 2021 01:52 WIB

Pengamat: Proyek Food Estate NTT Harus Didukung Manajemen

Kesiapan dan adaptasi petani lokal harus menjadi prioritas utama.

Para petani di Desa Makatakeri, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyambut antusias jalanya Program jangka panjang Pemerintah, Food Estate yang kini nampak tumbuh sumbur. Mereka senang program food estate sangat berdampak terhadap roda ekonomi keluarga, karena biaya produksi bertani jauh lebih murah.
Foto: istimewa
Para petani di Desa Makatakeri, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyambut antusias jalanya Program jangka panjang Pemerintah, Food Estate yang kini nampak tumbuh sumbur. Mereka senang program food estate sangat berdampak terhadap roda ekonomi keluarga, karena biaya produksi bertani jauh lebih murah.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Proyek lumbung pangan (food estate) yang dikembangkan Kementerian Pertanian (Kementan) di Kecamatan Kaukuluk Mesak, Kabupaten Belu, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), harus didukung dengan manajemen yang terbaik. Aplagi,  proyek food estate ini untuk mewujudkan ketahanan pangan jangka panjang. 

"Sehingga, hal-hal yang berkaitan dengan operasional program harus didukung dengan manajemen yang terbaik," kata Pengamat Pertanian dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Leta Rafael Levis  ketika dihubungi di Kupang, Sabtu (13/2).

Rafael mengatakan, kehadiran proyek lumbung pangan harus didukung karena mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan dan NTT harus bersyukur. Secara konsep, kata dia, proyek lumbung pangan merupakan integrasi berbagai komoditas seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan di dalam satu kawasan.

Rafael menjelaskan, berdasarkan data yang diperoleh terkait pengembangan proyek food estate di Belu, pemerintah memprioritaskan pada tanaman padi untuk musim tanam satu seluas 350 hektare dan palawija untuk musim tanam dua seluas 200 hektare. Kemudian masih ada tanaman hortikultura 25 hektare dan perkebunan 50 hektare.

Menurut dia, untuk mewujudkan program ini, maka hal-hal yang berkaitan dengan manajemen operasional harus betul-betul diperhatikan secara serius. Di lapangan, kata dia, pelaksanaan program ini tidak mudah karena sejumlah aspek di antaranya proyek ini melibatkan banyak instansi pemerintah baik dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga desa.

Kemudian berkaitan dengan efektivitas koordinasi antara Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Peternakan, dan Dinas PUPR yang ada di provinsi maupun kabupaten. "Koordinasi dan pembagian wewenang antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten harus jelas," katanya.

Selain itu, kesiapan dan adaptasi petani lokal harus menjadi prioritas utama karena mereka menjadi kunci kesuksesan dari pelaksanaan program. Artinya, katanya, perlu dipersiapkan secara baik terkait pola yang dipakai pemerintah, apakah pemerintah menangani sendiri atau kolaborasi swasta-pemerintah atau menggunakan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) seperti yg dipakai oleh perusahaan perkebunan.

"Oleh karena itu dibutuhkan sosialisasi secara baik agar terjadi persamaan persepsi antarsesama instansi pemerintah dan juga para petani," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement