Jumat 12 Feb 2021 16:34 WIB

Aroma Hio di Hari Imlek

Di daerah pecinan Glodok, adat istiadat leluhur masih dipegang erat warga keturuna.

Warga etnis Tionghoa bersembahyang saat perayaan Tahun Baru Imlek 2572 di Vihara Dharmayana, Kuta, Bali, Jumat (12/2/2021). Ibadah tahun baru Imlek saat pandemi COVID-19 tersebut hanya diikuti oleh warga yang tinggal di lingkungan sekitar vihara dengan menerapkan protokol kesehatan seperti mewajibkan penggunaan masker, mengatur jumlah warga yang beribadah serta tidak menyelenggarakan kegiatan yang dapat menimbulkan keramaian seperti pementasan Barongsai.
Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Warga etnis Tionghoa bersembahyang saat perayaan Tahun Baru Imlek 2572 di Vihara Dharmayana, Kuta, Bali, Jumat (12/2/2021). Ibadah tahun baru Imlek saat pandemi COVID-19 tersebut hanya diikuti oleh warga yang tinggal di lingkungan sekitar vihara dengan menerapkan protokol kesehatan seperti mewajibkan penggunaan masker, mengatur jumlah warga yang beribadah serta tidak menyelenggarakan kegiatan yang dapat menimbulkan keramaian seperti pementasan Barongsai.

REPUBLIKA.CO.ID, Catatan Alwi Shahab

Saban tahun setiap Imlek tiba, Glodok yang mendapat julukan China Town atawa Pecinan merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang banyak didatangi pembeli. Glodok dalam sejarahnya merupakan salah satu pasar tertua di Jakarta, lebih tua dari Pasar Tanah Abang dan Senen yang dibangun pada abad ke-18.

Glodok berasal dari nama yang berbunyi grojok-grojok pada masa VOC merupakan kampung yang terletak di luar kota berbenteng. Jauh sebelum dibangunnya Batavia (Mei 1619), dan semenjak bernama Sunda Kalapa, orang Cina sudah banyak tinggal di tepi pantai tidak jauh dari bandar Sunda Kalapa.

Namun, ketika Olanda membangun loji di sini, mereka pun diusir. Baru setelah terjadinya pembantaian orang Tionghoa (November 1740) mereka ditempatkan di kawasan yang sekarang ini kita kenal dengan sebutan Glodok.

Mendatangi pusat-pusat pembelanjaan di Glodok saat puasa, kita harus ekstra kuat menahan haus. Berdampingan dengan Glodok terdapat pertokoan Pancoran yang dulunya merupakan pancuran tempat orang mengambil air minum dan mandi. Glodok memiliki pusat elektronik yang dikenal sebagai pertokoan Harco.

Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa yang membangunnya pada tahun 1970-an adalah seorang keturunan Arab bernama Abubakar Bahfen. Dia juga membangun pertokoan dengan nama yang sama di Pasar Baru.

Baik di Glodok maupun di Pasar Baru, sampai tahun 1960-an terdapat Markas Polisi Seksi II dan III — semacam Polsek sekarang ini. Di Harco kita dapat membeli berbagai produk elektronik dengan harga miring, dan kini didominasi oleh produk Cina.

Konon, di sini juga terdapat barang-barang selundupan, yang begitu gampang lolos dan dijual bebas. Di sekitar Harco terdapat para pedagang VCD dan DVD, termasuk film-film porno. Entah sudah berapa puluh kali dilakukan razia, tapi tidak pernah berhasil menghalau para pedagang VCD porno yang jumlahnya ratusan.

Menelusuri jalan-jalan di daerah ini, diperlukan banyak fantasi. Bukan saja untuk membayangkan tragedi 1740 yang menelan korban 10 ribu Tionghoa, tapi situasi tempat dan masyarakat ketika itu. Pria Cina ketika itu berlalu lalang dengan rambut dikepang panjang dan rambut bagian depan dicukur licin, sebagai tradisi ketika daratan Cina dijajah Manchu selama tiga ratus tahun.

Pemerintah kolonial Belanda, selain mengharuskan orang Cina tinggal di satu tempat, juga melarang mereka berpakaian seperti pribumi dan barat. Yang melanggar dikenai denda atau kurungan.

Hingga kini — sekalipun harus bersaing dengan pusat perdagangan lain yang menjamur di Jakarta — Glodok masih tetap merupakan tempat perbelanjaan paling bergengsi. Hampir semua tempat tinggal telah berubah fungsi menjadi tempat perdagangan. Penghuninya kini tinggal di perumahan-perumahan mewah, seperti Pluit, Ancol, Sunter dan Kawasan Indah Kapuk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement