Kamis 11 Feb 2021 13:49 WIB

Viral sebagai Logika Media, Refleksi Hari Pers

Viral sebagai Logika Media

Karikatur anti  PKI di media massa pada tahun 1953.
Foto: google.com
Karikatur anti PKI di media massa pada tahun 1953.

REPUBLIKA.CO.ID, Verdy Firmantoro, Mahasiswa Program Doktoral FISIP UI dan Dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA

Viral menjadi kecenderungan logika media abad 21. Penetrasi digital yang terus berkembang mengarahkan media “dipaksa” tunduk pada ketenaran. Viralitas mengancam eksistensi kebenaran. Semua orang berbondong-bondong menjadi produsen informasi. Surat kabar, radio, televisi yang dahulu menjadi media arus utama, kini perlahan semakin terdesak oleh media sosial. Fenomena ini yang disebut dengan desentralisasi informasi, setiap orang turut menentukan agenda media.  

Peringatan Hari Pers Nasional menjadi momen penting merenungkan masa depan media di Indonesia. Sejarah pers adalah sejarah nilai, sejarah gagasan, sejarah perjuangan. Refleksi ini penting seiring dengan penggalan tema yang diusung bahwa “Pers sebagai Akselerator Perubahan”. Di tengah arus disrupsi, pers dituntut untuk terus menjaga amanah reformasi. Tidak ada panggilan tertinggi, selain bekerja dengan fakta dan berbicara dengan data. Dilemanya, pers berada di tengah pergumulan keras, di satu sisi menghadapi hibridisasi global, di sisi lain bersinggungan dengan kelindan kekuasaan. Di sinilah masa depan pers dipertaruhkan.   

Viral dan Pseudo-Kebenaran

Logika viral khas milik media digital. Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan pasar, pertimbangan viral juga menarik media-media konvensional. Persoalannya, dunia pers sudah dikenal dengan sejarah panjang  pelestarian peradaban. Platform ini menjadi pilar keempat demokrasi. Tak khayal jika tuntutan terhadap pers begitu tinggi.

Pers diharapkan tidak terjebak untuk sekedar mengejar rating dan viralitas parsial. Selayaknya pers memosisikan diri sebagai intermediary institutions (lembaga perantara atau penghubung) narasi kebenaran.

Viralitas bertumpu pada nalar jaringan. Eksploitasi konten atau informasi membangkitkan wacana publik untuk terlibat dalam sentimen emosi daripada pertimbangan-pertimbangan rasional. Bahkan layaknya virus yang begitu cepat menyebar, pendekatan viral mengancam logika media yang mengarusutamakan kerja-kerja etis dan profesional. 

Konten-konten viral yang mengabaikan kode etik bahkan menggunakan konten hoaks merupakan ancaman bagi bagi demokratisasi informasi. Memang di era kebebasan semua orang berhak berekspresi, namun viralitas mengaburkan realitas yang sesungguhnya. Jargon “yang viral, yang benar” merupakan bentuk pseudo-kebenaran.

Suburnya praktik buzzer, industri propaganda digital menunjukkan bahwa rezim informasi berpihak pada penguasa like, share and comment. Bencananya pengguna yang tidak bertanggung jawab tetapi mampu menentukan opini publik. Di sinilah viralitas akan menjadi rezim kebenaran semu hanya karena jumlah pengikutnya besar. 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement