Kamis 11 Feb 2021 06:40 WIB

Jilbab: Antara Ketidakpastian Kebijakan dan Kesejahateraan

Dari ketidakpastian akan perubahan hingga hasil kesejahteraan pendidikan.

 Sekelompok siswa berjilbab di Jakarta pada tahun 1982 yang di larang masuk sekolah.
Foto: Republika.co.id
Sekelompok siswa berjilbab di Jakarta pada tahun 1982 yang di larang masuk sekolah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Yunan Syaifullah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Jilbab dan seragam sekolah kembali menjadi polemik menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia. Musababnya berawal dari kontroversi kebijakan SMKN 2 Padang tentang penggunaan jilbab bagi siswinya.

Kejadian itu bermula saat orang tua dari salah satu siswi non-Muslim mengunggah protesnya di media sosial karena putrinya diwajibkan memakai jilbab. Terkait protes ini, pihak kepala sekolah pun kemudian membantahnya. Menurutnya, hal itu hanya salah pengertian dari seorang guru sebab sebenarnya tak ada aturan mewajibkan atau memaksa berjilbab bagi siswi non-Muslim.

Kasus SMKN 2 Padang menambah daftar panjang polemik tentang jilbab dan seragam sekolah di Indonesia. Jauh sebelum itu, hal serupa pernah terjadi di SMAN 1 Maumere pada 2017 di SD Inpres 22 Wosi Manokwari. Pada 2014 pun pengalaman serupa terjadi di sekolah-sekolah di Bali yang melarang penggunaan jilbab di sekolah.

Masalah jilbab dan seragam sekolah di Indonesia senantiasa mengundang daya tarik dan masalah menarik yang patut dicermati. Tidak hanya masalah keagamaan, polemik ini juga beririsan dengan masalah ekonomi politik yang melatarbelakangi kebijakan tentang pendidikan di negeri ini.

Apabila menengok jauh ke belakang, dari perspektif dinamika sejarah, semenjak Indonesia merdeka, aturan seragam sekolah (negeri) senantiasa berubah-ubah, khususnya mengenai jilbab. Pada dekade 1970-an jilbab dilarang dikenakan dalam seragam sekolah. Lalu, pada dekade 1990-an pengenaan jilbab diizinkan untuk dikenakan sebagai seragam sekolah. 

Kejadian di SMKN 2 Padang telah mengarah dan menyembul menjadi “heroisme” baru untuk menggugurkan trauma dan kebencian yang ditujukan pada dunia pendidikan di Indonesia. 

Pendidikan, harus diakui, telah menjadi bagian hidup bagi hampir semua masyarakat di Indonesia. Pendidikan bahkan telah dan mampu menjelma menjadi ideologi untuk kemanusiaan.  

Karena itu, kejadian di SMKN 2 Padang, SMA Maumere, dan sekolah di Bali menggambarkan bahwa pendidikan sesungguhnya tidak berdiri tunggal dengan masalah dan aspek sosial lainnya. Karena itu, narasi yang terakhir terjadi di SMKN 2 Padang menjadi peristiwa menarik yang dipertontonkan dari dunia pendidikan. Bukan sekadar soal ilmu pengetahuan dan pembelajaran, pendidikan ternyata bisa dan mampu melahirkan benih nasionalisme. 

Parade nasionalisme di dunia pendidikan menjadi perhatian dan perbincangan menarik dari banyak kalangan. Tidak hanya pelaku dunia pendidikan (guru, orang tua, dan murid) namun juga banyak pihak saling terkait. 

Terlebih, secara masif, pekikan nasionalisme dengan segala rentetan polemik kejadian jilbab dan seragam di SMKN 2 Padang itu ditayangkan secara terus-menerus melalui media sosial, seperti Instagram dan Facebook.  

Pekikan nasionalisme yang diproduksi secara terus-menerus di berbagai kanal televisi dan media sosial secara tidak langsung memengaruhi persepsi dan memori para pelaku pendidikan untuk dipaksa memperbincangkannya. Baik itu dengan nalar kritisnya, maupun skeptis. 

Realita hal itu menjadi wajar dan logis. Apabila dikaitkan dengan data statistik pengguna Instagram dunia pada periode 2018 telah menyentuh angka 800 juta orang. Peringkat tertinggi, di Amerika Serikat, yakni 110 juta pengguna. Nomor dua tertinggi adalah Brasil sebesar 57 juta pengguna. Menariknya, peringkat ketiga justru diraih dan ditempati Indonesia, yakni sebesar 55 juta pengguna. (databoks.katadata.co.id, 2019).

Media sosial adalah ruang yang bisa dan mampu untuk mendekatkan yang jauh menjadi lebih dekat. Intensitas komunikasi dan distribusi informasi makin dipermudah dan tinggi.

Polemik telanjur telah mengarah dan masuk pada ruang kosong kebijakan tentang pendidikan di Indonesia. Khususnya, masalah jilbab dan seragam sekolah. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dipaksa angkat suara terkait kebijakan SMKN 2 Padang yang dinilai melanggar HAM.

Tidak cukup hanya memberikan pernyataan, hal tersebut diikuti dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri mengenai penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan. 

SKB diteken oleh tiga menteri, yakni Mendikbud, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Agama (Menag).

Jilbab dan seragam sekolah bisa memicu lahirnya krisis di dunia pendidikan. Karena itu, krisis apa pun bentuknya membawa pelajaran penting dan menarik bagi pengembangan pemikiran dan keilmuan. Terlebih, akibat krisis yang dibawa serta dalam hal impact maupun dampaknya. 

Efek lanjutan dari krisis, dalam istilah ekonomi dikenal dengan uncertainty. Gerak dan pola dari uncertanity (ketidakpastian) yang bergerak dinamis pada dasarnya agak susah untuk dipahami dan dicermati.

Biasanya, tatkala periode uncertainty terjadi, kerap kali diikuti oleh change (perubahan)Dalam konteks ekonomi publik, perubahan ini akan menggeser sejumlah kebijakan untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian dan kemungkinan yang bakal terjadi. 

Jilbab dan seragam sekolah dalam perspektif kebijakan pada dasarnya bersumber dari kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi. Masalah pendidikan timbul dari dua jenis, pertama adalah masalah yang tersusun dengan baik (well structure). Kedua, masalah yang perlu diuraikan dan analisis karena tidak tersusun dengan baik (will structure). 

Karena itu, setiap kebijakan harus dimaknai sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya.

Kebijakan tidak hanya menyangkut soal pedoman belaka, tapi juga mengenai masalah strategi. Karena itu, kebijakan yang baik tidak lahir dari masalah dan kejadian. Tetapi, kebijakan terlahir dari pilihan dan tindakan yang telah dirumuskan dalam program yang terukur. 

Ringkasnya, hasil akhir kebijakan adalah perubahan dan kemajuan yang berujung pada kesejahteraan.   

Pendidikan masa kini telah mampu menggeser batas dan identitas nasional dalam sejarah pendidikan itu sendiri. 

Pendidikan membuat setiap orang mudah merasa antusias. Sekolah dan lembaga pendidikan adalah tempat untuk bermimpi indahnya bagi seluruh pelaku pendidikan. Mulai dari guru, orang tua, murid, hingga lembaga lain di luar pendidikan. 

Akan tetapi, yang perlu dipahami dalam memahami mimpi itu adalah terjadinya pertautan kultural yang tidak mudah. Meski bila berhasil menggabungkan pertautan kultural itu bisa menjadi kekuatan luar biasa.

 

Malang: Pojok Pustaka, 11 Februari 2021 Pukul 00.46

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement