Kamis 11 Feb 2021 03:06 WIB

Kementerian ESDM Targetkan Satu Juta Pelanggan Smart Meter

Target satu juta pelanggan smart meter ini diharapkan bisa tercapai pada 2022.

Petugas memeriksa meteran listrik di Rumah Susun Bendungan Hilir.
Foto: Republika/Prayogi
Petugas memeriksa meteran listrik di Rumah Susun Bendungan Hilir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan sebanyak satu juta pelanggan terpasang meteran listrik pintar atau smart meter pada 2022. Sebagai pengganti meter listrik konvensional, pemasangan smart meter ini merupakan bagian dari pembangunan jaringan tenaga listrik pintar atau smart grid guna meningkatkan pengawasan, mutu, dan keandalan sistem kelistrikan.

Smart grid diyakini mampu membuat sistem tenaga listrik secara optimal dan efisien dengan memanfaatkan interaksi dua arah baik antara produsen listrik dengan konsumen.

Baca Juga

"Ruang lingkup smart grid ini luas sekali. Mulai dari pembangkit dan automasi sistem transmisi, integrasi pembangkit terbarukan dan automasi sistem distribusi, hingga pemanfaatan dan pembangkitan mandiri," ujar Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar mengutip definisi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam webinar smart grid di Jakarta, Rabu (10/2).

Dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Rabu, keberadaan smart grid, sambung Wanhar, mampu membuat konsumen menjadi produsen. Misalnya, pelanggan yang memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di rumah dapat mengirim tenaga listrik ke sistem PT PLN (Persero) dan tetap bisa memakai listrik dari PLN.

Implementasi smart grid sudah dirintis BPPT sejak tahun 2013 di Sumba, Nusa Tenggara Timur, dengan skala kecil (smart micro grid).

Pembangunan tersebut merupakan hasil integrasi antara pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), mikrohidro (PLTMH), PLTS, dan baterai, serta jaringan tegangan menengah (JTM) 20 kV.

"Sistem tenaga listrik di Sumba beroperasi secara otomatis sesuai program algoritma untuk menyuplai beban. Beban dasarnya 1.200 kW dengan beban puncak 2.100 kW," kata Wanhar.

Sementara untuk komunikasi sistem dilakukan melalui power line communication (PLC).

Adapun automasi kontrol dan monitoring melalui supervisory control and data acquisition (SCADA) master station.

Untuk kestabilan variable renewable energy (VRE) yang sifatnya intermittent pada jaringan tersebut disokong dengan baterai (battery storage).

"Di Sumba, beban puncak dan beban dasar jaraknya sangat jauh. Ini mencerminkan bahwa bebannya masih didominasi oleh rumah tangga. PLTS digunakan siang hari sekitar 5 jam. Ini digunakan untuk mengisi baterai 500 kWh. Ketika beban puncak pada malam hari, baterai digunakan untuk menyuplai jaringan di Sumba. Ini mengurangi beban PLTD ataupun PLMTH. Ketika PLTS hilang dari sistem karena hujan atau mendung, bisa dengan cepat digantikan dengan PLTD yang dayanya cukup besar," jelas Wanhar.

Selain di Sumba, smart grid juga diterapkan untuk demo plant di Baron Techno Park, Gunung Kidul, Yogyakarta serta floating PV (PLTS Terapung)-Battery PLTA Cirata.

Tak hanya dapat mengoptimalkan sistem tenaga listrik, smart grid juga dapat meningkatkan mutu dan keandalan tenaga listrik.

Koordinator Perlindungan Konsumen Ketenagalistrikan Sugeng Prahoro menjelaskan perkiraan biaya investasi untuk menggantikan satu juta meter pascabayar dengan smart meter mencapai senilai Rp10 triliun dalam jangka waktu 15 tahun.

"Pemasangan smart meter diutamakan untuk konsumen potensial dan wilayah yang layak dalam pembangunan infrastruktur AMI (advanced metering infrastructure). Pada tahun 2022, diproyeksikan telah terpasang meter AMI sebanyak 1 juta konsumen," ujar Sugeng.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement