Senin 08 Feb 2021 09:46 WIB

Ke Mana Indonesia di Putusan Praperadilan tentang Palestina?

Sebenarnya siapapun bisa mengajukan dirinya untuk menjadi amicus curiae.

Palestina
Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fajri Matahati Muhammadin (Dosen Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum UGM, Universitas Gadjah Mada)

Pada tanggal 5 Februari 2021, Kamar Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber, atau PTC) di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, atau ICC) mengeluarkan putusan penting terkait kasus dugaan kejahatan internasional yang dilakukan Israel di Gaza dalam invasi militer bernama Operation Protective Edge pada tahun 2014 lalu. Perlu dipahami bahwa PTC fungsinya lebih luas daripada praperadilan di Indonesia, mencakup antara lain memutus isu-isu terkait batas kewenangan ICC. 

Dalam putusan PTC ini, yang dipertanyakan adalah apakah kompetensi ICC terkait Palestina adalah mencakupi Gaza juga mengingat pengakuan terhadap status Palestina sebagai negara masih kontroversial (di dunia internasional) apalagi batas wilayahnya. PTC memutus bahwa ICC memiliki kewenangan atas wilayah Palestina yang mencakup Gaza, West Bank (Tepi Barat), dan Yerusalem Timur. Putusan ini tidak mutlak (2 hakim melawan 1), dengan ketua sidang hakim Péter Kovács yang berpendapat dissenting tersebut pada mayoritas amar putusan tersebut.

Ketika Palestina pertama kali bergabung menjadi anggota ICC pada pengujung akhir tahun 2014 untuk berupaya menyeret Israel terkait Operation Protective Edge, saya senang sekaligus khawatir. Saya senang karena ICC selangkah lebih dekat untuk menyeret tokoh-tokoh militer Israel ke pengadilan. Salah satu kekhawatiran saya saat itu adalah apakah Gaza dapat dianggap masuk wilayah Palestina, dan ternyata memang sampai hal ini secara khusus diperkarakan dalam rangkaian sidang PTC. 

Untungnya putusan PTC ternyata mengakui Gaza sebagai wilayah Palestina, sehingga perkara akan dapat terus berlanjut ke tahap-tahap berikutnya di ICC. Sayangnya masih banyak masalah lain yang dapat menghalangi, misalnya sulitnya melaksanakan penyelidikan di wilayah Israel apalagi menangkap tersangka-tersangka asal Israel yang bisa jadi mencakup Benyamin Netanyahu. Menangkap tokoh militer, apalagi kepala negara, sangat sulit apalagi bila mereka berasal dari negara non-anggota ICC seperti Israel.

Akan tetapi, yang pertama menarik perhatian saya dalam putusan PTC bukan konten putusannya. Dokumen putusannya, di halaman dua sampai tiga mencantumkan daftar pihak yang berpartisipasi di persidangan sebagai amicus curiae. Istilah amicus curiae ("sahabat mahkamah") digunakan untuk menyebut pihak-pihak yang membantu pengadilan dengan memberikan pandangannya kepada para hakim baik melalui surat tertulis atau secara lisan di sesi persidangan. Pandangan yang disampaikan bisa berisi pemaparan aspek-aspek hukum tertentu, atau juga aspek-aspek pada fakta, yang relevan pada kasus yang dibahas. Agak mirip konsepnya (tapi tidak sama persis) dengan saksi ahli dalam sistem hukum Indonesia.

Siapa saja yang menjadi amicus curiae pada persidangan PTC dalam perkara Palestina ini? Sebahagiannya merupakan negara misalnya Republik Ceko, juga ada organisasi internasional semisal Organisasi Kerjasama Islam. Ada juga akademisi-akademisi semisal Prof Hatem Bazian (University of California, Amerika Serikat), juga NGO misalnya MyAqsa Foundation (Malaysia). Saya mencari-cari apakah ada nama yang setidaknya berbau Indonesia, dan sayangnya tidak ketemu. 

Menurut Pasal 103(1) pada ICC Rules of Procedure and Evidence (Aturan Prosedur dan Pembuktian), ICC bisa mengundang atau memberi izin pada negara, organisasi, atau orang untuk memberikan pandangannya. Artinya, sebenarnya siapapun bisa mengajukan dirinya untuk menjadi amicus curiae. Tentu saja pengajuan diri tersebut bisa ditolak oleh ICC, tapi saya mencoba mencari dalam database online ICC dan tidak menemukan pengajuan dari Indonesia. Perlu dicatat dokumentasi seperti ini di ICC mayoritasnya (atau bahkan semuanya) sangat rapi dan tersedia online. Artinya, ICC tidak mengundang siapapun dari Indonesia dan tampaknya tidak ada dari Indonesia yang mengajukan juga. Kenapa bisa demikian?

Tampaknya bukan karena Indonesia bukan negara anggota ICC. Memang betul semua negara dalam daftar amicus curiae adalah anggota ICC (Brasil, Uganda, Australia, Jerman, Hongaria, Republik Ceko, Austria), tapi ini bukan tentu bermakna negara non-anggota tidak boleh mengajukan diri. Selain itu, MyAqsa Foundation (Malaysia) dan Prof John B. Quigley (Amerika Serikat) berbasis di negara yang bukan anggota ICC juga. Karena itu, jelas tidak harus berasal dari negara anggota ICC untuk mengajukan diri sebagai amicus curiae. Lantas, kenapa tidak ada sama sekali dari Indonesia?

Bukannya masyarakat Indonesia tidak peduli. Justru Palestina menempati ruang khusus di hati masyarakat Indonesia. Masyarakat Palestina termasuk yang paling awal mendukung kemerdekaan Indonesia bahkan sebelum tahun 1945, dan kita tidak akan melupakan hal tersebut. Lalu, walaupun tentu krisis Palestina adalah isu lintas umat dan lintas bangsa, sulit dipungkiri bahwa krisis Palestina memiliki tempat khusus di hati umat Islam apalagi Indonesia sebagai mayoritas Muslim terbesar di dunia. Ada banyak juga NGO Indonesia yang menyalurkan bantuan kemanusiaan di Palestina, di antaranya Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan Sahabat Al-Aqsa.

UUD 1945 dimulai dengan menegaskan hak segala bangsa atas kemerdekaan dan mengutuk penjajahan, dan Indonesia berperan sentral dalam Konferensi Asia Afrika 1955 yang merupakan gerakan penting dalam dekolonialisasi. Sedangkan okupasi Israel atas wilayah Palestina merupakan satu-satunya kasus penjajahan yang masih berlangsung hari ini. Yang paling penting, Indonesia telah dipilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) periode 2019-2020. Website Kementerian Luar Negeri dalam menjelaskan isu-isu prioritas sebagai anggota tidak tetap DK PBB, menyebut isu Palestina sebagai perhatian khusus. Lantas kenapa tidak ada orang Indonesia di daftar amicus curiae?

Sebagai seorang akademisi di bidang hukum internasional, saya mengetahui bahwa ICC sedang menangani perkara Palestina tapi tidak terlalu update terkait rincian prosesnya. Saya tidak terpikir sama sekali untuk mengajukan permohonan menjadi amicus curiae, atau setidaknya mengajak kolega lain atau ormas untuk mengajukan. Terus terang benar-benar luput dari pikiran saya. Sayangnya, tampaknya masalah yang sama inilah yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang menyebabkan tidak satupun yang mengajukan sebagai amicus curiae, terutama di antara kami yang bergerak di bidang hukum internasional. Sedangkan dengan aktivis-aktivis dan NGO pro-Palestina yang tidak begitu familiar dengan hukum internasional, mungkin memang tidak tahu.

Saya tidak menafikkan bahwa banyak sekali cara untuk mendukung Palestina, dan masyarakat Indonesia sangat aktif berpartisipasi di sana. Baik itu dalam bentuk bantuan kemanusiaan, kerja sama pendidikan, atau bahkan politik internasional. Akan tetapi, absennya Indonesia dalam proses di ICC terkait Palestina bagi saya merupakan sebuah tamparan keras. Bukannya Indonesia tidak perduli, bukan pula kekurangan pakar dalam bidang ini. Tentulah seharusnya para akademisi, NGO, dan pemerintah lebih memperhatikan dan berpartisipasi di ICC.

Walaupun demikian, pintu kontribusi belum tertutup. Bagaimanapun akhir yang ditakdirkan untuk kasus Palestina ini ICC belum selesai. Dengan putusan PTC ini, terbuka pintu untuk proses-proses selanjutnya. Mungkin kesempatan lain untuk berpartisipasi akan muncul lagi, dan ketika itu tiba mudah-mudahan masyarakat Indonesia lebih sigap untuk terlibat. Jika ada upaya apa pun yang bisa membawa Palestina selangkah lebih dekat pada kemerdekaan sejati, dan membawa Israel selangkah lebih dekat pada akuntabilitas, saya yakin masyarakat Indonesia ingin menjadi bagian dari hal tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement