Jumat 05 Feb 2021 07:38 WIB

Waspada! 500 Desa di Jabar Rawan Bencana Hidrometeorologis

Yang paling banyak di Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Rahmat Santosa Basarah
Sejumlah warga memancing ikan di aliran Kali Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Ahad (31/1/2021). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi mengimbau warga yang tinggal di sekitar aliran kali untuk waspada banjir akibat kenaikan debit air Kali Cikarang karena curah hujan tinggi.
Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
Sejumlah warga memancing ikan di aliran Kali Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Ahad (31/1/2021). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi mengimbau warga yang tinggal di sekitar aliran kali untuk waspada banjir akibat kenaikan debit air Kali Cikarang karena curah hujan tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG---- Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Barat (BPBD Jabar) mencatata, ada 500 desa yang masuk ke dalam kategori potensi bencana hidrometeorologis atau bencana yang dipengaruhi oleh cuaca dengan kerawanan yang tinggi. Menurut Kepala Pelaksana Harian BPBD Jabar Dani Ramdani, 500 desa itu tersebar di hampir di seluruh wilayah kabupaten/kota di Jabar. "Hampir di seluruh kota/kabupaten, tapi yang paling banyak di Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Bogor karena disesuaikan dengan jumlah wilayah kecamatan dan desanya, paling banyak di sana," ujar Dani, Kamis (4/2).

Untuk bagian timur, kata dia, ada di Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu. Sedangkan bagian utara ada di Subang, Karawang, dan Bekasi. "Ya yang kategori desa dengan potensi tinggi bencana itu dari 5.000 desa di Jabar, ada 500-an (yang masuk kategori rawan bencana tinggi)," kata Dani.

Untuk mengantisipasi dampak dari bencana tersebut, kata dia, BPBD Jabar pun bergerak untuk membuat desa tangguh bencana. Hingga akhir Januari lalu, sedikitnya 250 desa telah dibekali konsep dan peralatan untuk menghadapi bencana. "Kita bangun baru 250-an, setengahnya. Kita buat percepatan untuk 250 desa yang lain dengan program fast track, kalau standar Destana BNPB itu ada 16 indikator," katanya.

Sedangkan untuk kondisi saat ini, kata dia, minimal ada tiga indikator dulu. Yakni, ada Satgas, ada peralatan yang stand by dan anggaran yang tersedia. Selain itu ada indikator yang keempat yaitu indikator pelatihan bagi masyarakat paling tidak tokoh dan relawan pemuda. "Indikator lainnya harus membuat peta rawan bencana di level desa, harus membuat jalur evakuasi, dan rambu evakuasi harus membuat tempat evkuasi, kalau selengkap itu, sekarang tiga indikator (satgas, peralatan dan anggaran), kalau ada anggaran apapun bisa dilakukan, nah anggaran bencana itu yang biasanya tidak tersedia, makanya beberapa bupati membuat Perbup, terkait anggaran untuk bencana dalam APBDes," papar Dani.

Dani mengatakan, mitigasi sederhana bisa dilakukan di tingkat desa. Salah satunya dengan memeriksa saluran air untuk memastikan tak ada yang tersumbat atau memeriksa tebing-tebing apakah ada keretakan yang berpotensi longsor. Ada periode golden time untuk meminimalisasi terjadinya korban jiwa. Periode yang dimaksud ialah nol sampai tiga puluh menit terjadinya bencana. "34 persen faktor keselamatan dari bencana bersumber dari kesiapsiagaan individu yang dibentuk oleh pengetahuan dan kemampuan yang bersangkutan dalam melakukan evakuasi," katanya.

Faktor lainnya, kata dia, diberikan oleh pertolongan orang-orang terdekat, yakni anggota keluarga yang memiliki kemampuan dan rencana kontijensi yang dilatihkan jika terjadi bencana. Faktor ini menyumbang 31 persen. Lalu 17 persen dari pertolongan komunitas baik RT, RW atau lingkungan setempat.

"Peran BPBD, Tim SAR dan petugas lainnya hanya menyumbang 1,8 persen saja, karena pada saat golden time mereka tidak berada persis di tempat bencana," katanya. Oleh karena itu, kata dia, kesiapsiagaan individu, keluarga dan komunitas mutlak diperlukan dalam membangun masyarakat yang berbudaya tangguh bencana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement