Rabu 03 Feb 2021 06:07 WIB

Bukan Pedagang, Kaum Sufi Pembawa Islam ke Nusantara

Kaum Sufi Pembawa Islam ke Nusantara

Sosok Santri di masa lalu.
Foto: Muhammad Sibarkah
Sosok Santri di masa lalu.

JAKARTA – Ada beragam teori terkait masuknya agama Islam ke nusantara, seperti melalui perdagangan, dakwah, atau pernikahan. Ahli Kajian Persia Universitas Indonesia, Bastian Zulyeno mengatakan tidak semua para pedagang menyebarkan Islam. Ada kelompok yang datang karena membawa misi Islam. Kelompok tersebut adalah kaum sufi.

Jika dilihat budaya Persia kental di Indonesia. Beberapa kosakata berasal dari bahasa Persia misalnya perniagaan, nakhoda, jangkar, dan nisan. Bahkan ada sejumlah bukti di nisan tua kuno yang memang menunjukkan berasal dari mayoritas kaum sufi. Mulai dari ornamen hingga bentuk. Artinya, kaum sufi ikut andil dalam menyebarkan agama Islam dan bisa jadi yang paling berhasil.

“Mereka (kaum sufi) datang menyebarkan Islam dengan mendirikan perguruan sehingga murid dan pengikutnya banyak,” kata Bastian dalam gelar wicara Riwayat Masuknya Islam ke Nusantara di kanal Youtube Historia.ID.

Penelusuran jejak sufi ada pada Makam Sultan Malikussaleh di Aceh dan Makam Syekh Mahmud di Papan Tinggi Barus, Sumatra Utara. Di makam tersebut tertulis syair berbahasa Persia.

“Ini bisa dilihat, syair itu tidak datang secara tiba-tiba. Orang lokal tidak mungkin tidak kenal sastra atau syair, paling tidak saat itu sudah akrab dengan sastra,” ujar dia.

Syair yang tercantum di Makam Sultan Malikussaleh adalah petikan dari Ali bin Abi Thalib, yaitu “Sesungguhnya dunia itu fana, tidak kekal.” Sementara di Makam Syekh Mahmud tercantum penggalan syair dalam buku berjudul Syahname atau the Epic of the King karangan Firdausi. Firdausi adalah penyair Persia antara abad ke-10 dan ke-11. Penggalan syairnya yakni, “Semua orang akan kembali, tidak ada yang tersisa dari manusia selain sisi kemanusiaan.”

“Yang seperti ini unsur sufistiknya sangat kental. Ini bukan hanya terjadi pada raja melainkan tokoh agama. Di Iran saya lihat makam tahun 1100 sampai 13000-an rata-rata makam para raja atau sufi. Artinya nisan tidak milik kaum elit, tapi tokoh agama juga,” tambah dia.

Jika dicermati, kedua nisan tersebut terlihat estetik. Ini dibuat agar menarik perhatian orang dan sebagai media dakwah. Saat orang tersebut meninggal, pengikutnya bisa datang. Para pengikutnya bisa mendapat pesan agar meneladani perilaku orang yang sudah meninggal. n Meiliza Laveda

https://www.youtube.com/watch?v=VleSqB1-kM4

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement