Selasa 02 Feb 2021 17:20 WIB

Nasdem: Pilkada 2024 Lahirkan Plt, Hak Publik Terabaikan

Nasdem juga menilai pemilu serentak berisiko tinggi terhadap KPPS.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Wakil Ketua Baleg Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya menjelaskan perkembangan RUU Cipta Kerja, di ruang Fraksi Partai Nasdem, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (25/9).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Wakil Ketua Baleg Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya menjelaskan perkembangan RUU Cipta Kerja, di ruang Fraksi Partai Nasdem, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Fraksi Partai Nasdem DPR menegaskan pelaksanaan pilkada 2024 akan berakibat banyaknya kepala daerah yang dijabat pelaksana tugas (Plt). Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR, Willy Aditya menuturkan, jabatan plt kepala daerah membuat hak publik terabaikan.

Ia menegaskan Fraksi Partai Nasdem mendukung revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Menurut Nasdem, revisi ini untuk mengatur ketentuan pelaksanaan pilkada pada 2022 dan 2023. "Pelayanan publik jadi terganggu. Padahal kebutuhan publik adalah salah satu tanggung jawab utama seorang pemimpin hasil pemilihan,” ujar Willy lewat keterangannya, Selasa (2/2).

Padahal menurut Nasdem, pemilu adalah wadah untuk melahirkan pemimpin yang dipilih masyarakat. Sehingga, kepala daerah yang terpilih memiliki tanggung jawab langsung kepada masyarakat.

Jika pilkada dan pemilu dilaksanakan serentak pada 2024, penyelengaraannya juga dinilai berisiko tinggi. Hal ini berdasar pengalaman pelaksanaan Pemilu 2019 lalu yang membuat banyak Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) gugur.

“Kita harus berani mengakui bahwa kita masih terus berproses dalam upaya memperbaiki sistem elektoral kita. Masih banyak kekurangan di sana-sini, baik secara kualitatif maupun kuantitatifnya. Jadi, jangan sampai kita mengulang kebodohan yang sama,” tegas Willy.

Di samping itu, Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 55/PUU-XVII/2019 juga telah mengubah pendiriannya terhadap konstitusional pemilihan serentak. Putusan tersebut baginya menunjukkan bahwa masyarakat tidak boleh menjadi manusia legalis.

"Ada aspek-aspek lain yang harus senantiasa kita lihat secara dialektis, baik dari aspek sistemnya, efisiensi dan efektivitasnya, dan terutama aspek menyangkut hak pemilih dan kemaslahatan penyelenggaraannya," ujar Willy.

Menurutnya, ciri negara yang demokrasinya solid atau terkonsolidasi adalah peralihan kekuasaan secara berkala. Lewat pemilu atau pilkada yang jujur, adil, dan terselenggara secara periodik menjadi wujud paling nyata dari peralihan itu.

"Mekanisme pemilu atau pilkada yang reguler ini dapat dinikmati oleh elite dan massa sebagai mekanisme yang absah dan konstitusional dalam pergantian kekuasaan. Dengan demikian kereguleran ini tidak hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja," ujar Willy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement