Selasa 02 Feb 2021 09:39 WIB

Suu Kyi Dikudeta, Begini Tanggapan Aktivis Rohingya

Pengambilan kekuasaan hanya menguntungkan Rohingya untuk sementara

Dalam file foto 27 Jan 2021 ini, pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyaksikan vaksinasi petugas kesehatan di rumah sakit di Naypyitaw, Myanmar. Laporan mengatakan Senin, 1 Februari 2021 kudeta militer telah terjadi di Myanmar dan Suu Kyi telah ditahan dalam tahanan rumah.
Foto: AP/Aung Shine Oo
Dalam file foto 27 Jan 2021 ini, pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyaksikan vaksinasi petugas kesehatan di rumah sakit di Naypyitaw, Myanmar. Laporan mengatakan Senin, 1 Februari 2021 kudeta militer telah terjadi di Myanmar dan Suu Kyi telah ditahan dalam tahanan rumah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peristiwa kudeta yang terjadi di Myanmar mendapat sorotan dari dunia internasional. Pengambilan kekuasaan secara paksa dan penahanan terhadap Aung San Suu Kyi juga segenap pejabat dari Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) oleh Junta Militer membuat tensi politik di negara tersebut memanas. 

Lantas, bagaimana warga Rohingya yang kerap tertindas di Myanmar melihat adanya kudeta tersebut? Aktivis kemanusiaan Rohingya Chit Koko mengungkapkan, sebenarnya pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi telah gagal melindungi kaum minoritas di Myanmar. “Mereka telah gagal tidak hanya melindungi Rohingya tetapi etnis lainnya. Kegagalan ini sudah terlihat di mata dunia,”ujar Chit Koko saat berbincang dengan Republika.co.id lewat sambungan telepon, Selasa (2/2). 

Untuk itu, Chit Koko mengungkapkan, dari perspektif Rohingya, sebenarnya tidak ada perbedaan berarti jika kekuasaan dipegang oleh militer atau sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. “Dari perspektif kami tidak ada perbedaan yang nyata apakah itu dipimpin oleh sipil atau militer,”kata dia.  

photo
Pengungsi etnis Rohingya beristirahat usai dievakuasi di pantai Lancok, Kecamatan Syantalira Bayu, Aceh Utara, Aceh. - (ANTARA FOTO/RAHMAD)

Meski demikian, pengambilan kekuasaan tersebut, ujar dia, mungkin menguntungkan bagi warga Rohingya hanya untuk sementara. Namun, dia menegaskan, pemerintahan militer sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, rezim militer tak akan menguntungkan dalam jangka waktu lama bagi Rohingya. 

Militer Myanmar alias Tatmadaw mengembalikan pemerintahan militer dan secara resmi mengakhiri transisi demokratis di Myanmar. Para pimpinan sipil, termasuk Presiden Myanmar Win Myint dan Kanselir Negara Aung San Suu Kyi, ditangkap.

Atas penangkapannya, Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin Partai NLD menyerukan rakyat Myanmar menolak kudeta militer tersebut. Ia meyakini, aksi militer adalah tindakan untuk mengembalikan negara di bawah kediktatoran.“Saya mendorong rakyat untuk tidak menerima ini, untuk menanggapi dan dengan sepenuh hati memprotes kudeta oleh militer," kata Suu Kyi lewat pernyataan yang diunggah akun Facebook resmi NLD pada Senin (1/2/2021). 

Nasib Rohingya semasa pemerintahan Aung San Suu Kyi memang tidak membaik. Suu Kyi bahkan tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Suu Kyi  membantah para tentara melakukan operasi genosida terhadap warga Rohingya meski mengakui jika militer Myanmar menggunakan kekuatan tidak proporsional dalam melakukan operasi terhadap Muslim Rohingya.

Negara bagian Afrika, Gambia telah membawa Myanmar ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas tindakan keras militer berdarah pada 2017. Kala itu, ribuan orang terbunuh dan sekitar 740 ribu warga yang mayoritasnya Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement