Senin 01 Feb 2021 11:04 WIB

Epidemiolog: PPKM Butuh Pengawasan dan Penegakan Hukum

PPKM bisa dievaluasi, salah satunya pengawasan di daerah potensi pusat penyebaran

Rep: Adinda Pryanka / Red: Hiru Muhammad
Pembatas jalan dipasang menutup Jalan Kolonel Egi Yoso Martadipura di kawasan Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (24/1/2021).  Pemerintah memutuskan memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali lantaran masih tingginya kasus aktif COVID-19 di beberapa daerah tersebut. Perpanjangan terhitung mulai 26 Januari hingga 8 Februari 2021.
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Pembatas jalan dipasang menutup Jalan Kolonel Egi Yoso Martadipura di kawasan Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (24/1/2021). Pemerintah memutuskan memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali lantaran masih tingginya kasus aktif COVID-19 di beberapa daerah tersebut. Perpanjangan terhitung mulai 26 Januari hingga 8 Februari 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menyebutkan, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebenarnya dapat berjalan dengan efektif asalkan memenuhi dua syarat. Yakni, pengawasan di lapangan dilakukan dengan benar dan penegakan hukum berjalan secara tegas.

Tri menjelaskan, pemerintah sebenarnya tidak perlu mengganti total kebijakan PPKM yang sudah berjalan selama hampir sebulan ini meski dinilai kurang efektif oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Bukan langsung diganti begitu saja. Menurut saya, ini bisa dievaluasi dan apa yang kurang, bisa diganti," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (1/2).

Salah satu poin yang sebaiknya diperbaiki adalah pengawasan. Tri menjelaskan, pemerintah ataupun pihak berwenang  harus melakukan check point di daerah-daerah yang berpotensi menjadi pusat penyebaran.

Misalnya, perkantoran. Saat PPKM, pemerintah menerapkan kebijakan Working From Home (WFH) sebanyak 75 persen untuk tiap perusahaan swasta maupun lingkungan pemerintah.

Contoh lainnya di pusat perbelanjaan atau mall yang harus tutup pukul 20.00 WIB selama PPKM. Tri menjelaskan, kebijakan ini harus dipastikan berjalan dengan baik untuk memastikan efektivitas PPKM dalam menekan tingkat penyebaran kasus Covid-19."Suatu kebijakan sangat tergantung pada pengawasan untuk melihat apakah masyarakatnya patuh atau tidak," tuturnya.

Penerapan PPKM akan memberikan konsekuensi terhadap ekonomi. Berkurangnya pendapatan perusahaan dan pegawai maupun keuntungan yang menurun bagi pedagang merupakan efek yang sulit terelakkan pada masa pandemi.

Oleh karena itu, Tri menekankan, pemerintah harus mampu menjelaskannya dengan baik kepada semua kalangan. Termasuk mengenai konsekuensi ekonomi yang akan menurun apabila pandemi sudah semakin teratasi dengan baik.

Tidak hanya pengawasan, Tri menambahkan, penegakan hukum yang tegas juga harus diberlakukan untuk meningkatkan efektivitas PPKM. Ia menilai, sanksi yang sudah ditetapkan pemerintah sejauh ini kurang efektif dalam memberikan efek jera maupun rasa takut kepada masyarakat.

Tri memberikan contoh denda Rp 250 ribu untuk mereka yang tidak mengenakan masker. "Peraturannya kurang galak, sehingga banyak yang tidak patuh. Kalau mau dendanya Rp 5 juta atau Rp 10 juta, tidak tawar menawar," ujarnya.

Sebelumnya, Jokowi menyatakan, pelaksanaan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama ini tidak efektif menekan laju penularan Covid-19. PPKM yang telah berjalan lebih dari dua pekan tak berdampak pada penurunan mobilitas dan kegiatan masyarakat."Saya ingin menyampaikan mengenai yang berkaitan dengan PPKM tanggal 11-25 Januari. Kita harus ngomong apa adanya. Ini tidak efektif. Mobilitas juga masih tinggi karena kita memiliki indeks mobility-nya ada," kata Jokowi saat rapat terbatas di Istana Bogor, Jumat (29/1) yang videonya baru diunggah pada Ahad (31/1).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement