Sabtu 30 Jan 2021 03:24 WIB

Vaksin Mandiri Dinilai Beratkan Pelaku UMKM

Hanya sekitar 22 persen masyarakat Indonesia yang bersedia membayar vaksin.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolandha
 Seorang tenaga kesehatan menyiapkan vaksin COVID-19 di pusat vaksinasi di Denpasar, Bali, Jumat. (29/1). eneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan efektivitas kebijakan vaksin mandiri. Sebab dikhawatirkan, kebijakan itu akan memberatkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Foto: EPA/MADE NAGI
Seorang tenaga kesehatan menyiapkan vaksin COVID-19 di pusat vaksinasi di Denpasar, Bali, Jumat. (29/1). eneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan efektivitas kebijakan vaksin mandiri. Sebab dikhawatirkan, kebijakan itu akan memberatkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menilai, pemerintah perlu mempertimbangkan efektivitas kebijakan vaksin mandiri. Sebab dikhawatirkan, kebijakan itu akan memberatkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

“Harus dipertimbangkan (vaksin mandiri) karena bisa beratkan UMKM,” kata Andree dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (29/1).

Baca Juga

Dia menilai bahwa vaksin mandiri harus memperhatikan kesiapan pihak swasta dalam mengeluarkan anggaran untuk karyawannya. Maka menurut dia, jika pemerintah mengharuskan vaksin mandiri ditanggung perusahaan, hal itu akan sangat memberatkan pelaku usaha mikro yang terdampak pandemi.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2017-2018, terdapat 107 juta tenaga kerja yang bekerja pada sektor UMKM. Dari jumlah ini, dia menilai, akan sangat sulit bagi pelaku UMKM menyediakan vaksin mandiri bagi karyawannya. Jika vaksin diizinkan untuk dijual ke publik dengan harga yang ditetapkan pemerintah, maka pihaknya menilai bahwa pemerintah telah ingkar terhadap komitmen vaksin gratis.

Di sisi lain dia menilai, jika produk vaksin disebarluaskan kepada publik, maka hal itu dapat membuka kontroversi baru mengenai penentuan harga vaksin. Berdasarkan survei penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia yang dilakukan WHO dan Kementerian Kesehatan, terbukti hanya sekitar 22 persen masyarakat Indonesia yang bersedia membayar vaksin dengan preferensi harga yang masih di bawah harga vaksin saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement