Kamis 28 Jan 2021 14:36 WIB

Eks HTI akan Dilarang Ikut Pemilu, Muhammadiyah: Berlebihan

Menghapuskan hak politik warga negara bisa bertentangan dengan HAM.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Andri Saubani
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.
Foto: Republika/Prayogi
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengkritik isi draf RUU Pemilu. Khususnya, yang mengatur larangan bagi eks HTI untuk menjadi calon peserta pemilu di semua tingkatan, layaknya mantan anggota PKI.

"Menurut saya berlebihan jika eks anggota HTI tidak memiliki hak politik," ujar dia kepada Republika, Kamis (28/1).

Baca Juga

Menurutnya, sebagai penyelenggara negara, pemerintah Indonesia harus adil ke setiap warga negaranya. Salah satunya, dengan memberikan hak pilih dan politik.

"Menghapuskan hak politik bisa bertentangan dengan HAM," tambah dia.

Dia menambahkan, secara teknis penghapusan hak itu juga tidak mudah dilakukan. Terlebih, ketika HTI tidak memiliki administrasi keanggotaan yang resmi.

"Akan ada masalah pendataan (ke depannya)," ucap dia.

Satu-satunya solusi yang bisa dilakukan, kata dia, adalah melakukan pembinaan ideologi terhadap eks HTI dan FPI selaku ormas yang telah dibubarkan. Sebab, meski secara resmi kedua organisasi itu telah dilarang, namun, ideologi yang ada masih berkembang.

Sebelumnya, dalam draf RUU Pemilu, aturan mengenai larangan mantan anggota HTI ikut Pilpres, Pileg, dan Pilkada tertuang dalam Buku Ketiga Penyelenggaraan Pemilu, BAB I Peserta Pemilu Bagian Kesatu Persyaratan Pencalonan.

Menurut Pasal 182 ayat 2 (ii) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI.

Lalu dalam Pasal 182 ayat 2 (jj) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menjelaskan, HTI tidak sesuai konsesus bangsa, yakni Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga, mantan atau anggotanya dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legialatif, kepala daerah, dan presiden yang tertera dalam draf RUU Pemilu.

"Pengurus dan anggotanya bertolak belakang dengan empat konsensus dasar bangsa Indonesia. HTI juga sudah dinyatakan pemerintah sebagai organisasi terlarang,” ujar Zulfikar saat dikonfirmasi, Rabu (27/1).

Zulfikar menjelaskan, untuk menjadi pejabat publik seperti legislator atau kepala daerah harus memenuhi syarat yang ada. Salah satunya adalah berkomitmen pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sedangkan HTI, diketahui sebagai organisasi yang dinilai ingin mengganti ideologi Indonesia. Hal tersebut juga berlaku dengan organisasi-organisasi yang bertentangan dengan Pancasila.

"Dengan pandangan dan sikap seperti itu, lalu mereka (mantan anggota HTI) tetap diperbolehkan menjadi pejabat publik? Tentu tidak kan,” ujar Zulfikar.

photo
Geger Pembakaran Bendera HTI - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement