Kamis 28 Jan 2021 05:57 WIB

Benarkah Islam Antikearifan Lokal?

Wali Songo menyebarkan Islam di nusantara melalui tradisi dan budaya

Batik: Akar sejarah batik tak lepas dari peran ulama di masa lalu untuk mengenalkan Islam

Oleh : Muhammad E Fuady, Akademisi Fikom Unisba

Wayang sendiri berasal dari kata “Ma Hyang” artinya  “Menuju kepada roh dewa atau keilahian”. Roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan “Hyang”, itulah asal mula kata wayang. 

Pada masanya, hyang dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang juga menghukum dan mencelakakan manusia. Untuk mendapat pertolongan dan menolak bala, dibuatlah tradisi upacara keagamaan, memuja roh atau totem. 

Islam kemudian hadir dengan mengikis tradisi upacara pemujaan itu dan mengubah wayang sebagai seni pertunjukkan sekaligus media dakwah.

Islam, terutama di nusantara memang hadir dengan mempertimbangkan tradisi atau kearifan lokal. Tradisi meski berseberangan tidak dihilangkan, tetapi diapresiasi, kemudian menjadi metode, sarana, media dakwah Islam. Tradisi yang sudah usang, dikemas hingga diterima sebagai sebuah seni dan dakwah Islam. 

Di nusantara atau belahan dunia mana pun, Islam datang dengan damai, tidak memaksa, tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga hidup selaras, seiring sejalan dengan agama lainnya.

Poejosubroto (dalam Sunyoto, 2018) menjelaskan Sultan Demak I dan para wali mempertimbangkan untuk meneruskan wayang dengan perubahan sesuai zaman, menjadikannya sebagai media dakwah Islam, bentuk wayang tak boleh seperti arca dan manusia, cerita dewa diubah ke dalam jiwa Islam dan membuang kemusyrikan, dan cerita wayang harus mengandung dakwah tentang ibadah, akhlak, keimanan, kesusilaan, kesopanan. 

Selain itu mereka sepakat bahwa wayang harus digelar dengan kesopanan dan menjauhi maksiat. Tafsiran atas karakter, tokoh wayang harus sesuai dengan ajaran Islam, dan seluruh unsur seni wayang, termasuk gamelan, dimaknai secara sistematis sesuai ajaran Islam.

Sejak itu, pakem wayang harus selaras dengan Islam dan Ketauhidan.  Wayang kemudian tidak lagi mengambil bentuk utuh layaknya manusia, baik pada gambar maupun wujudnya. Poliandri yang dilakukan tokoh Drupadi, diubah menjadi monogami, lalu dimunculkanlah tokoh punakawan yang mampu mengalahkan kekuatan tokoh dewa-dewa, dibuat silsilah yang berawal dari Nabi Adam hingga Nabi Syits, jimat kalimusada menjadi Layang Kalima Sahada sebagai wujud dua kalimat Syahadat. 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement